Gede on Writing

Minggu, September 16, 2012

Editlah Sebelum Diedit


Editlah Sebelum Diedit
Gede H. Cahyana



Nyaris 100% atau katakan saja 99,99% orang menulis tak ada yang tanpa perbaikan, tanpa pengeditan, tanpa revisi. Dengan kata lain, menulis yang baik adalah menulis yang diikuti pengeditan. Editan itu pun tetap akan diedit lagi sekian hari kemudian. Biasanya penulis menulis pada hari ini lalu mengeditnya pada esok hari atau hari lain. Atau, ia menulis pada malam hari, lalu siang harinya diedit. Bisa juga pola-pola waktu yang lain, yang bergantung pada karakter masing-masing.

Adakah naskah yang ditulis sekali jadi? Saya yakin, tak ada naskah (berkualitas baik) yang ditulis sekali jadi alias tanpa diedit, terlebih lagi berupa naskah yang panjang, baik berupa cerita pendek, artikel, esai maupun novel. Novel apalagi, tak ada yang ditulis tanpa koreksi dan revisi. Jalan cerita pun bahkan bisa berubah di tengah jalan, di tengah-tengah penulisan yang sedang mencapai titik puncaknya. Semuanya bisa terjadi kapan saja dan sangat dipengaruhi oleh rasa-hati atau mood penulis.

Ada kata bersayap, “Editlah sebelum diedit.” Maksudnya, editlah tulisan (artikel) semaksimal-maksimalnya sebelum diedit oleh editor koran atau majalah kalau tulisan hendak dikirimkan ke koran, majalah atau media cetak lainnya. Kalau terlalu banyak yang harus diedit oleh editor (redaktur), maka tulisan yang dikirimkan itu boleh jadi tidak akan dimuat di koran atau majalah. Masih untung kalau tulisan itu dibalas oleh redaktur koran dan diberikan saran-saran perbaikan secara khusus. Tapi kalau tidak, maka tulian itu laksana “sampah” saja, kecuali jika kita berbesar hati untuk mengeditnya lagi, mengasahnya hingga optimal sebelum dikirimkan kembali ke koran yang sama atau ke koran lainnya.

Menurut jenis tulisannya, yang paling perlu pengeditan adalah penulisan nonfiksi, khususnya yang berupa laporan. Semua data mesti dicek dan diteliti apakah sudah betul, terutama yang menyangkut penulisan angka. Kekurangan atau kelebihan angka nol saja bisa menimbulkan masalah besar, bisa mencapai angka puluhan sampai milyaran rupiah. Penulisan laporan keuangan pasti perlu kehati-hatian dan perlu diedit dan edit kembali. Begitu pun penulisan yang bersifat ilmiah, sainstifik. Data laboratorium dan data lapangan perlu dicek agar tidak menyimpang dari keadaan sebenarnya. Andaipun berbeda, tentu harus ada alasan yang mesti diutarakan agar pembacanya paham dan dapat meniru metodologinya atau memodifikasinya.

Dalam dunia akademis, minimal ada dua kelompok pengeditan. Yang pertama, editan bahasa dan yang kedua adalah editan isi. Skripsi (Tugas Akhir) yang ditulis tanpa peduli pada bahasa, baik tata kalimat maupun diksi, maka hasilnya akan “menyedihkan”. Isi skripsi (tugas akhir), tesis, atau disertasi boleh jadi betul secara sainstifik tetapi sulit dipahami oleh pembacanya. Satu saja pincang “kakinya”, maka timpang pula, malah gagallah misi transfer ilmu yang menjadi dasar dalam proses belajar-mengajar. *

“Ilmu adalah buruan. Tulisan adalah pengikatnya. 
Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. 
Keliru sangat saat berhasil menangkap kijang tapi dibiarkan bebas tanpa diikat.”