Editlah Sebelum Diedit
Editlah
Sebelum Diedit
Gede H. Cahyana
Nyaris 100% atau katakan saja 99,99% orang menulis tak ada yang tanpa
perbaikan, tanpa pengeditan, tanpa revisi. Dengan kata lain, menulis yang baik
adalah menulis yang diikuti pengeditan. Editan itu pun tetap akan diedit lagi
sekian hari kemudian. Biasanya penulis menulis pada hari ini lalu mengeditnya
pada esok hari atau hari lain. Atau, ia menulis pada malam hari, lalu siang
harinya diedit. Bisa juga pola-pola waktu yang lain, yang bergantung pada
karakter masing-masing.
Adakah naskah yang ditulis sekali jadi? Saya yakin, tak ada naskah (berkualitas
baik) yang ditulis sekali jadi alias tanpa diedit, terlebih lagi berupa naskah
yang panjang, baik berupa cerita pendek, artikel, esai maupun novel. Novel
apalagi, tak ada yang ditulis tanpa koreksi dan revisi. Jalan cerita pun bahkan
bisa berubah di tengah jalan, di tengah-tengah penulisan yang sedang mencapai titik
puncaknya. Semuanya bisa terjadi kapan saja dan sangat dipengaruhi oleh
rasa-hati atau mood penulis.
Ada kata bersayap, “Editlah sebelum diedit.” Maksudnya,
editlah tulisan (artikel) semaksimal-maksimalnya sebelum diedit oleh editor koran
atau majalah kalau tulisan hendak dikirimkan ke koran, majalah atau media cetak
lainnya. Kalau terlalu banyak yang harus diedit oleh editor (redaktur), maka tulisan yang dikirimkan itu boleh jadi tidak akan
dimuat di koran atau majalah. Masih
untung kalau tulisan itu dibalas oleh redaktur koran dan diberikan saran-saran
perbaikan secara khusus. Tapi kalau tidak, maka tulian itu laksana “sampah”
saja, kecuali jika kita berbesar hati untuk mengeditnya lagi, mengasahnya hingga
optimal sebelum dikirimkan kembali ke koran yang sama atau ke koran lainnya.
Menurut jenis tulisannya, yang paling perlu pengeditan adalah
penulisan nonfiksi, khususnya yang berupa laporan. Semua data mesti dicek dan
diteliti apakah sudah betul, terutama yang menyangkut penulisan angka.
Kekurangan atau kelebihan angka nol saja bisa menimbulkan masalah besar, bisa
mencapai angka puluhan sampai milyaran rupiah. Penulisan laporan keuangan pasti
perlu kehati-hatian dan perlu diedit dan edit kembali. Begitu pun penulisan
yang bersifat ilmiah, sainstifik. Data laboratorium dan data lapangan perlu
dicek agar tidak menyimpang dari keadaan sebenarnya. Andaipun berbeda, tentu
harus ada alasan yang mesti diutarakan agar pembacanya paham dan dapat meniru
metodologinya atau memodifikasinya.
Dalam dunia akademis, minimal ada dua kelompok pengeditan. Yang pertama,
editan bahasa dan yang kedua adalah editan isi. Skripsi (Tugas Akhir) yang ditulis tanpa peduli pada bahasa,
baik tata kalimat maupun diksi, maka hasilnya akan “menyedihkan”. Isi skripsi
(tugas akhir), tesis, atau disertasi
boleh jadi betul secara sainstifik tetapi sulit dipahami oleh pembacanya. Satu
saja pincang “kakinya”, maka timpang pula, malah gagallah misi transfer ilmu
yang menjadi dasar dalam proses belajar-mengajar. *
“Ilmu
adalah buruan. Tulisan adalah pengikatnya.
Ikatlah buruanmu dengan tali yang
kuat.
Keliru sangat saat berhasil menangkap kijang tapi dibiarkan bebas tanpa
diikat.”
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home