Bilal, Budak Ahli Surga
Bilal, Budak Ahli Surga
Oleh Gede H. Cahyana
Matahari Mekkah
sedang terik-teriknya. Angin gurun deras mengempas pasir. Tengah hari, debu
terbang, ditambah batu besar, ikatan tali, dan tindihan kaki-kaki kasar, makin
meremukkan tubuh lelaki itu. Kulit hitamnya bertambah kelam, kotor berdebu.
Hanya giginya yang tampak putih di tengah erangannya, di sela-sela ucapan
Allahu ahad. Ia tak tahu cara berdoa selain kalimat itu.
Apa pasalnya
lelaki hitam pekat itu menerima siksa pedih? Ceritanya dimulai kemarin. Membangkang
kemarin siang dia! Perintah majikannya untuk melecut Ammar, seorang budak, dengan
cambuk besar yang kasar dibantahnya tegas-tegas. Ia buang cambuk itu dan perang
melawan majikannya mulai sudah. Ammar tak yakin pada kesaksiannya waktu itu.
Dia lebih senang dipecut saja. Dia malah memohon agar Bilal, budak Umayah itu,
mau memecutnya demi terhindar dari murka majikannya. Itu sebabnya, Bilal kini ditindih
batu ditengah terik mentari. Mentari Mekkah, apalagi siang hari, laksana mata pedang
menghujam dalam di pori-pori kulit.
Bilal, lelaki
yang merintih-rintih itu mulai tak sadarkan diri. Sebentar lagi ia bisa tewas.
Berarti Umayah, majikannya itu, akan rugi sekian ratus dirham. Ini tentu kian
membuatnya murka. Bagi Umayah, uang dan harta adalah segalanya, jauh lebih
berharga daripada nyawa manusia hitam. Bukan Umayah namanya kalau tak bisa
memanfaatkan situasi-kondisi. Dan benarlah, tak lama kemudian, ketika saat-saat
kritis itu, datanglah Abu Bakar. Pria bergelar Sidik itu membeli Bilal.
Harganya seratus dirham. Lalu Umayah teriak, “Budak ini telah menendang. Dia
bergerak.” Melihat gerak kaki Bilal, dengan licik Umayah menggandakan harganya
menjadi dua ratus dirham. Tanpa pikir panjang Abu Bakar membayarnya. Umayah
tertawa terbahak-bahak. Dia mendapat uang dari budak yang sebentar lagi,
menurut pikirannya, akan mati. Dia tidak rugi. Namun sebaliknya, bagi Abu
Bakar, harga seribu dirham pun akan dibayarnya juga.
Batu dan
tali-temalinya lantas dilepas. Dibantu Zaid, anak angkat Muhammad, Bilal
berdiri. Saat itu juga ia dibebaskan oleh Abu Bakar. Bilal merdeka. Bebas dari
perbudakan yang mendera sejak zaman nenek moyangnya. Untuk sementara dia
dirawat keluarga Abu Bakar. Lima hari dia berbaring lemah di rumah Abu Bakar.
Baru pada hari keenam dia bisa bangkit. Abu Bakar langsung memberinya susu
kambing dan berkata,” Rasulullah senantiasa berdoa di sampingmu. Setelah engkau
cukup baik, ia meninggalkanmu. Besok kita menemuinya.” Sejak itulah Bilal
menjadi sahabat Muhammad selama dua puluh dua tahun, sampai nabi wafat. Bilal
wafat di Siria pada tahun 644 Masehi atau tahun 22 Hijriah.
Boleh
dikatakan, pengalaman Bilal mencerminkan pengalamannya bersama Muhammad Saw. Dia ikut
perang dan juga hijrah. Bilal bahkan menjadi muadzin pertama dan namanya abadi
di setiap masjid. “Sebagai muadzin atau Bilal hari Jumat ini,” seru pengurus
DKM,” adalah saudara Fulan.” Begitulah yang sering kita dengar pada hari Jumat
menjelang adzan dikumandangkan. Bilal berkulit
hitam legam itu begitu terkenal
dan tergolong ke dalam sahabat yang dijamin Allah masuk surga. ***
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home