Evaluasi (Semua) Hakim Tipikor
Oleh Gede H.
Cahyana
Bagai guntur di siang bolong, siang
itu, setelah upacara peringatan HUT ke-67 RI, dua orang hakim Tipikor ditangkap
tim KPK di Semarang. Itu sebabnya, ceramah Idulfitri 1433 H diwarnai juga
dengan intonasi kuat tentang suap, korupsi, manipulasi dan sejenisnya (bukan pencurian “ecek-ecek” seperti maling singkong
sekadar untuk penangkis lapar kaum fakir miskin). Padahal gaji (baca: penghasilan sebulan) hakim sudah lebih
besar daripada umumnya PNS.
Kita masih ingat, betapa marak mafia
peradilan dan calo kasus
di negeri ini meskipun ada Pedoman Perilaku Hakim yang juga menuai
kontroversi. Semua poin dalam pedoman itu bersifat idealis. Hanya saja, waktu itu, ada satu hal
yang diperdebatkan, yaitu pemberian hadiah atau upeti. Berkaitan dengan ini,
seorang rektor sebuah PTS di Bandung bercerita begini. Suatu hari ia didatangi
seseorang yang akan membuatkannya jas. Sebelum mengukur, rektor ini bertanya,
apakah kalau dia tidak menjadi rektor orang itu akan datang juga untuk
membuatkannya jas? Ternyata orang itu datang ke rektor karena ada sesuatu yang
diharapkannya, berkaitan dengan kelancaran bisnisnya.
Kasus demikian pun
kerapkali terjadi di lingkungan petugas hukum yang seharusnya menjadi penegak
hukum. Bahkan ada yang sengaja memanfaatkan jabatannya demi raihan harta berupa
uang dan barang. Sudah pula jadi rahasia umum, aparat hukum itu, tak hanya
hakim tapi juga yang lainnya, berada di titik nadir, tak tampak upaya untuk bangkit.
Jangan-jangan aparat hukum kita memang belum pernah berada di atas yang berarti
belum pernah turun, yang juga berarti sudah sejak awal berada di titik terendahnya.
Sudah rahasia umum, hukum tak berlaku bagi penguasa dan pengusaha besar tapi hanya
diterapkan pada rakyat kecil bahkan sewenang-wenang. Masihkah berlaku slogan hukum harus ditegakkan meski esok langit akan runtuh?
Ada kisah menarik
yang terjadi pada zaman Khalifah Al Mansyur. Suatu kali khalifah ingin
mengangkat seorang hakim dan ia sudah tahu siapa saja kandidatnya. Ada empat
orang sufi yang dipanggilnya. Sufi, pada masa itu, selain tawadhu juga kaya ilmu, bijak, adil. Yang pertama adalah Abu Hanifah, lalu Sofyan
Tsauri, Misar dan Suraih. Sebagai orang ‘alim pada zamannya, mereka tahu bahwa
pekerjaan hakim sangat berat, salah-salah bisa dibalas dengan neraka di
akhirat. Itu sebabnya, masing-masing sudah punya niat untuk menolak jabatan
hakim. Sama sekali mereka tak tertarik pada jabatan itu apalagi kampanye di depan khalayak untuk memperoleh dukungan seperti masa kini.
Abu Hanifah,
setelah bertemu muka dengan khalifah, mengutarakan berbagai argumentasi bahwa
dirinya tak cocok menjadi hakim meskipun ia dikenal sebagai seorang ulama dan
ahli hukum. Lantaran kegigihannya itu, Abu Hanifah terhindar dari jabatan hakim
dan ia bersyukur tak mengemban jabatan itu. Sufi lainnya, yaitu Sofyan Tsauri
malah melarikan diri demi menghindari tugas berat itu. Yang luar biasa adalah
Misar. Besar sekali pengorbanannya karena ia rela berperilaku gila agar khalifah
tak memilihnya. Yang terakhir adalah Suraih. Ia juga menolak jabatan itu dengan
cara berpura-pura sakit keras. Namun khalifah justru memerintahkan aparatnya
untuk mencari tabib terbaik. Mau tak mau, jabatan hakim itu akhirnya disematkan
ke pundaknya.
Tampak betapa
orang-orang berilmu itu menolak jabatan hakim, sebuah jabatan yang sangat
diminati di negeri Indonesia. Tak hanya jabatan hakim, tapi juga
jabatan-jabatan lainnya yang berkaitan dengan hukum dan keadilan. Begitu pun yang
berkaitan dengan pelayanan masyarakat di berbagai departemen, dinas, dan lembaga
sarat dengan main uang, sogok-menyogok, suap-menyuap, sebuah bagian dari ketidakadilan.
Bahkan dalam penerimaan murid baru SMP, SMA pun terjadi ketidakadilan.
Tender-tender projek, baik pada taraf konsultan, kontraktor dan supervisi juga demikian. Yang paling anyar adalah Simulator Sim yang sim salabim nilainya.
Demi kenaikan pangkat lewat jalur sekolah pun harus terlebih dahulu menyerahkan
uang agar urusannya mudah dan saling sikut dengan temannya.
Jadi, nyaris
tak ada satu profesi pun di negeri nyiur melambai ini yang tidak melibatkan
uang dan jauh dari keadilan. Padahal dalam Al Qur’an Surat An-Nisaa: 58,
ditegaskan seperti ini: Jika kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah
kamu menghukum dengan adil. Artinya,
kalau tidak adil, maka keadilan itu akan diterapkan di akhirat kelak dan
hakimnya akan dimintai tanggung jawab oleh Sang Mahahakim: Allah Swt. Hal
serupa bisa disimak pada kata-kata Nabi Muhammad dalam hadisnya ini: Jika
Fatimah anak perempuan Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya. Adakah
yang berani demikian? Yang terjadi justru aparat hukum makin melindungi
saudaranya yang jelas-jelas salah dan berupaya dengan segala daya, termasuk pamer
kekuasaan dan uang untuk membebaskannya dari jeratan hukum.
Begitulah wajah
hukum dan peradilan di Indonesia, sebuah wajah bopeng carut-marut. Orang yang
telah jelas bersalah bisa melenggang di udara bebas, tapi yang tak bersalah
atau masih samar-samar malah mendekam di penjara. Betullah kata sejarawan bernama
Gibbon, penulis buku The
Decline and The Fall of Rome. Katanya: kehancuran Romawi karena
hukumnya tak dipatuhi. Mereka pintar membuat hukum dan peraturan demi sekadar
dibuat dan disahkan tapi tak dipedulikan. Hukumnya dijadikan hiasan dan
diperjualbelikan seperti barang dagangan. Perkara adalah tambang uang yang
kapan pun bisa digali.
Maka, apabila
hadiah, upeti, kiriman, kado, parcel dll terus mengitari aparat yang seharusnya
menegakkan hukum, tunggulah kehancuran negeri ini sekaligus kehancuran
pelakunya di akhirat kelak. Atau, jangan-jangan negeri ini memang sudah hancur.
Apabila belum hancur dan semua aparat hendak tobat, perlulah mengingat yang
berikut ini. Penyuap dan yang disuap tempatnya adalah neraka, demikian sabda
Muhammad, nabi akhir zaman saat menjelaskan perkara suap (riswah).
Jadi, evaluasi lagi hakim Tipikor agar
jelas rekam jejaknya oleh lembaga independen, termasuk ‘alim ulama. Juga evaluasi lagi sebaran pengadilan Tipikor di provinsi (barangkali ada beberapa provinsi yang masih layak memiliki pengadilan ini dan dapat dijadikan rujukan bagi provinsi lainnya yang berdekatan). ***
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home