Gede on Writing

Jumat, Juli 20, 2012

Puasa Sebagai Obat Stres

Puasa Sebagai Obat Stres
Oleh Gede H. Cahyana

Di bidang psikosainstek, Stewart Wolf dan John G. Bruhn menjadi orang pertama yang mendalami kajian tersebut di Roseto, Amerika Serikat. Dalam laporan risetnya, Bruhn menyatakan, “… family and community support is disappearing. Most of the men who have hearth attacks here were living under stress and really had nowhere to relieve that pressure …. These people have given up something and it’s killing them.”  Sebelum itu, yaitu tahun 1961, Bruhn justru memperoleh hasil yang oposif dan menyatakan bahwa masyarakat Roseto terbaik kehidupan sosialnya sehingga disebut kota ajaib (miracle city).

Tak bisa disangkal, per- kembangan sainstek mengantarkan manusia ke puncak pencapaian sekaligus meminggirkannya ke bibir jurang ketegangan, menimbulkan penyakit psikosomatis. Salah satu yang ditawarkan oleh Al Khalik untuk menetralkan dampak buruk sainstek adalah puasa Ramadhan sesuai dengan seruan Allah di dalam al Baqarah 183. Ujungnya adalah agar manusia bertakwa, menjadi orang-orang yang memasrahkan hidupnya kepada Allah dan hidup sehat. Menurut organisasi kesehatan dunia, WHO (World Health Organization), sehat adalah state of complete physical, mental, and social well-being, not merely the absence of disease or infirmity. Sehat ialah keadaan sejahtera sempurna jasmani, rohani, dan sosial, tak hanya tanpa adanya penyakit atau kelemahan saja. Agar bisa disebut orang sehat harus dipenuhi tiga syarat: jasmani, rohani, dan sosial.

Terkait dengan saum ini, ada hal menarik dari Imam Al Ghazali. Beliau membagi saum menjadi tiga tingkat. Yang pertama, saum umum, yaitu puasa yang sekadar menahan lapar, haus/dahaga dan syahwat. Inilah yang terbanyak dianut kaum muslimin. Yang kedua, saum khusus, puasa yang memuasakan mata, telinga, lisan dan anggota tubuh lainnya. Yang tertinggi ialah saum khususil khusus, selain dua saum di atas, hatinya pun ikut puasa dari segala sesuatu selain Allah dan semua yang dilakukannya lillahi ta’ala.

Menurut Achmad Mubarok dalam buku Jiwa Dalam Al Qur’an, ada lima gangguan jiwa yang diakibatkannya. Kelima gangguan itu sudah nyata di masyarakat tetapi tak terasa.

1. Cemas. Rasa ini muncul karena kehilangan makna hidup. Secara fitri kita punya kebutuhan akan makna hidup yang hanya bisa dimiliki oleh pejuang yang menyumbangkan sesuatu untuk orang lain. Orang-orang cemas biasanya mengikuti trend dan tuntutan sosial yang belum tentu benar. Sesekali saja dia merasakan kenikmatan sekejap yang palsu. Akibatnya terjadilah gangguan jiwa. Maka, puasa Ramadhan diharapkan menjadi kawah Candradimuka bagi insan-insan cemas.

2. Sepi. Ini muncul karena hubungan silaturahmi sudah tak tulus lagi tapi memakai topeng-topeng sosial yang palsu sehingga hubungan menjadi gersang, mengidap rasa sepi yang kronis padahal berada di keramaian. Tak bisa menikmati senyum orang lain sebab dianggap topeng belaka seperti ketika dia tersenyum kepada orang lain. Pujian dipandangnya sebagai basa-basi belaka.

3. Bosan. Inilah akibat rasa cemas dan sepi yang berkepanjangan. Hidupnya tak bergairah. Jiwanya kosong, mirip orang yang bermobil mewah tapi jiwanya becak; berponsel tapi memakai bahasa isyarat tangan. Makan makanan merek luar negeri tapi wawasan gizinya masih oncom (tak berarti oncom tak bergizi, ini sekadar misal). Harta, tahta, dan jabatannya tinggi tapi jiwanya hampa. Semua atribut, simbol, gelar, baju, sepatu, dasi, mobil, cincin, arloji, rumah, dan banyak lagi yang lain tampak modern namun pikirannya tidak menguasai ilmu-teknologi. Di pentas nikmat sekejap, sampai di rumah dia cemas dan sepi kembali. Lantaran bosan inilah dia masuk ke lingkaran narkoba, bunuh diri, racun diri atau gantung diri.

4. Perilaku menyimpang. Kalau rasa cemas, sepi dan bosannya terus menggayut, maka dia mudah melakukan perilaku buruk tanpa sadar seperti merampok padahal dia tak butuh uang, memperkosa tanpa tahu siapa yang diperkosa, membunuh tanpa ada sebab kenapa harus membunuh sehingga hidupnya menjadi semrawut.

5. Psikosomatik. Empat hal di atas jika terus terjadi dapat menyebabkan sakit fisik, sakit lantaran faktor jiwa dan sosial. Menjadi psikosomatik yang dalam bahasa Arab disebut nafs jasadiyah atau nafs biolojiyah. Yang sakit jiwanya, tapi dalam ujud sakit fisik. Makanya tak heran dia selalu mengeluh jantungnya berdeba-debar tanpa sebab, merasa lemah, tak enak badan atau tidak bisa konsentrasi dan sakit maag (tukak lambung).

Salah satu hikmah Ramadhan, jiwa kotor itu masih bisa disucikan dengan riyadhah al nafs atau tazkiyah al nafsseperti infak (zakat, zakat fitrah), shalat, kesucian seksual rumah tangga, dan bergaul yang santun secara lisan dan perbuatan. ***