Gede on Writing

Sabtu, Oktober 07, 2017

Doktormart, Jual Beli Gelar

Doktormart, Jual Beli Gelar

Oleh Gede H. Cahyana

Rektor Universitas Negeri Jakarta akhirnya diberhentikan menyusul kasus akademik “doktor-doktoran”. Lembaga pendidikan yang notabene menghasilkan guru dan beragam ahli di bidang masing-masing itu melakukan tindakan amoral. Apabila program doktor saja seperti itu lantas publik pun bertanya-tanya tentang kualitas program lainnya. Wajarlah ramai diskusi a la warung kopi di kalangan dosen. Pertanyaan serupa pun muncul untuk berbagai kampus di seluruh Indonesia, apakah bebas dari hal serupa itu? Pikiran Rakyat, Jumat, 6 Oktober 2017

Kasus UNJ bukanlah yang pertama. Sudah pernah merebak malpraktik dalam pengelolaan pendidikan di Jakarta. Belum lagi di kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Dua tahun lalu, ada 243 perguruan tinggi yang ijazahnya tidak diakui untuk tes calon PNS. Kementerian Ristekdikti pun kewalahan karena jumlah perguruan tinggi mencapai 4.500-an unit. Ini seperti kucing-kucingan antara pengawas dan pelaku. Pelaku bukanlah orang awam tetapi orang bergelar doktor, bahkan berjabatan fungsional guru besar dengan sebutan profesor. Lokasinya pun di ibukota, di bawah hidung gedung Kementerian Ristekdikti. Berbagai grup dosen di media sosial Facebook, Twitter, WA membahas kasus tersebut berhari-hari tetapi muaranya hanya gumaman. Tiada tindak dan laku yang bisa diperbuat.

Gelar memang menyilaukan, mulai dari gelar tradisional di berbagai daerah dan suku-bangsa hingga gelar akademik. Beberapa waktu lalu ada juga kasus yang berkaitan dengan gelar akademik tertinggi, yaitu Guru Besar yang dipertanyakan keabsahannya. Padahal di dunia pendidikan sudah jamak dilantunkan peribahasa: sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya. Tetapi di Indonesia, publik mudah melupakan kesalahan orang sehingga kasus idem ditto terjadi lagi berkali-kali. Dengan alasan ekonomi, orang dengan mudah melupakan sejarah.

Doktormart
Sebagai jenjang pendidikan tertinggi, program doktor tentu memiliki tingkat kesulitan yang lebih banyak dibandingkan dengan program magister dan sarjana. Penulisan proposal risetnya bisa membutuhkan waktu satu hingga dua semester. Penulisan latar belakang risetnya saja bisa menyerap waktu satu semester atau enam bulan. Jumlah lembar naskah untuk penulisan latar belakang penelitian saja bisa 15 lembar kertas kwarto 1,5 spasi. Hanya latar belakang, belum termasuk maksud, tujuan, metodologi, instrumen, dll. Praproposal pun bahkan ada yang memerlukan studi lapangan, pengambilan sampel data secara langsung.

Lantas, mungkinkah gelar doktor bisa diraih dalam waktu delapan bulan, setahun atau dua tahun? Andaipun ada, ini biasanya berupa kelanjutan dari studi magister sehingga peralatan, data awal, olahan (analisis) sudah tersedia, tinggal dilanjutkan.Belum lama berselang, ada yang meraih gelar doktor dalam jangka waktu tiga tahun, dalam usia muda. Jejak studinya terbilang mumpuni. Yang berkualitas di atas rerata saja butuh tiga tahun dan mendekam di laboratorium atau di lapangan atau di depan komputer berbulan-bulan tanpa bisa kerja yang lain. Bagaimana bisa kalangan pekerja, pegawai harian, syahdan pejabat daerah lantas mampu menuntaskan studi doktornya dalam kilasan kilat hujan semusim?

Belum lagi syarat merilis artikel ilmiah di jurnal internasional berakreditasi atau berindeks Scopus misalnya. Ini butuh waktu, bisa setahun. Tentu di luar nalar wajar apabila ada orang yang memperoleh gelar doktor dalam hitungan satu atau dua tahun saja. Yang instan seperti ini hanya bisa terjadi di luar rel akademik dengan azas jual-beli. Tak ubahnya seperti jual-beli di toko sehingga disebut doktormart. Uang bicara kepada dosen, pejabat struktural universitas, promotor dan mahasiswa.

Doktormart sungguh merusak dunia akademik Indonesia, melukai perasaan dosen dan mahasiswa yang lurus di jalan kebenaran. Jika tidak ditindak tegas, doktormart akan menyublim menjadi bentuk lain yang sulit diobati, tak terdeteksi pada zaman internet ini. Selayaknya hukuman diberikan kepada personal yang bersangkut-paut dengan doktormart ini, termasuk pembatalan gelar dan ijazah. Perlu dilakukan juga di jenjang sarjana dan magister agar gelar orang Indonesia sepadan dengan kemampuannya. Jauhkan generasi muda Indonesia menjadi konsumen doktormart, konsumen yang masuk toko, pilih-pilih barang di rak, lalu menuju kasir, bayar, dan “barang gelar” pun dibawa pulang.

Jika tidak lekas dibasmi atau dikurangi, maka Indonesia masuk ke relung senja: sandhya kalaning pendidikan. *

Minggu, September 16, 2012

Editlah Sebelum Diedit


Editlah Sebelum Diedit
Gede H. Cahyana



Nyaris 100% atau katakan saja 99,99% orang menulis tak ada yang tanpa perbaikan, tanpa pengeditan, tanpa revisi. Dengan kata lain, menulis yang baik adalah menulis yang diikuti pengeditan. Editan itu pun tetap akan diedit lagi sekian hari kemudian. Biasanya penulis menulis pada hari ini lalu mengeditnya pada esok hari atau hari lain. Atau, ia menulis pada malam hari, lalu siang harinya diedit. Bisa juga pola-pola waktu yang lain, yang bergantung pada karakter masing-masing.

Adakah naskah yang ditulis sekali jadi? Saya yakin, tak ada naskah (berkualitas baik) yang ditulis sekali jadi alias tanpa diedit, terlebih lagi berupa naskah yang panjang, baik berupa cerita pendek, artikel, esai maupun novel. Novel apalagi, tak ada yang ditulis tanpa koreksi dan revisi. Jalan cerita pun bahkan bisa berubah di tengah jalan, di tengah-tengah penulisan yang sedang mencapai titik puncaknya. Semuanya bisa terjadi kapan saja dan sangat dipengaruhi oleh rasa-hati atau mood penulis.

Ada kata bersayap, “Editlah sebelum diedit.” Maksudnya, editlah tulisan (artikel) semaksimal-maksimalnya sebelum diedit oleh editor koran atau majalah kalau tulisan hendak dikirimkan ke koran, majalah atau media cetak lainnya. Kalau terlalu banyak yang harus diedit oleh editor (redaktur), maka tulisan yang dikirimkan itu boleh jadi tidak akan dimuat di koran atau majalah. Masih untung kalau tulisan itu dibalas oleh redaktur koran dan diberikan saran-saran perbaikan secara khusus. Tapi kalau tidak, maka tulian itu laksana “sampah” saja, kecuali jika kita berbesar hati untuk mengeditnya lagi, mengasahnya hingga optimal sebelum dikirimkan kembali ke koran yang sama atau ke koran lainnya.

Menurut jenis tulisannya, yang paling perlu pengeditan adalah penulisan nonfiksi, khususnya yang berupa laporan. Semua data mesti dicek dan diteliti apakah sudah betul, terutama yang menyangkut penulisan angka. Kekurangan atau kelebihan angka nol saja bisa menimbulkan masalah besar, bisa mencapai angka puluhan sampai milyaran rupiah. Penulisan laporan keuangan pasti perlu kehati-hatian dan perlu diedit dan edit kembali. Begitu pun penulisan yang bersifat ilmiah, sainstifik. Data laboratorium dan data lapangan perlu dicek agar tidak menyimpang dari keadaan sebenarnya. Andaipun berbeda, tentu harus ada alasan yang mesti diutarakan agar pembacanya paham dan dapat meniru metodologinya atau memodifikasinya.

Dalam dunia akademis, minimal ada dua kelompok pengeditan. Yang pertama, editan bahasa dan yang kedua adalah editan isi. Skripsi (Tugas Akhir) yang ditulis tanpa peduli pada bahasa, baik tata kalimat maupun diksi, maka hasilnya akan “menyedihkan”. Isi skripsi (tugas akhir), tesis, atau disertasi boleh jadi betul secara sainstifik tetapi sulit dipahami oleh pembacanya. Satu saja pincang “kakinya”, maka timpang pula, malah gagallah misi transfer ilmu yang menjadi dasar dalam proses belajar-mengajar. *

“Ilmu adalah buruan. Tulisan adalah pengikatnya. 
Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. 
Keliru sangat saat berhasil menangkap kijang tapi dibiarkan bebas tanpa diikat.”