Belajar dari Tukang Becak
Oleh Gede H. Cahyana
Jamaah shalat Tarawih relatif banyak,
luber sampai ke emper masjid, di selasar kirinya. Saya kebagian duduk di
luar, tak jauh dari tempat wudlu. Tak lama kemudian saya melihat seseorang
masuk lewat pintu pagar samping, langsung menuju tikar di dekat saya. Ia
menggelar sajadah agak lusuh, pinggirnya terlepas sehingga benang-benangnya
terjurai. Empat rakaat shalat
Isya ditunaikannya. Ia kemudian berdiri lagi, melaksanakan shalat sunat dua
rakaat. Usai itu barulah ia berzikir.
“Baru datang,
Pak?”
“Iya. Tadi ngantar penumpang dulu.”
“Ke mana, Pak?”
“Ke kompleks.
Tak jauh dari sini.”
Obrolan kami
terputus karena ceramah tarawih segera dimulai. Usai tarawih, saya sempat
berbincang lagi sebentar. Mang becak atau pebecak, dianggap kelas bawah. Hanya saja, tidak
semua pebecak rendah pula kualitas kecerdasan spiritualnya. Tak sedikit yang
rela menolong orang dan merasa bahagia ketika ada orang yang tersesat lalu
minta pertolongannya. Banyak yang enggan memanfaatkan kesempitan orang baru
misalnya, untuk meraih keuntungan. Orang-orang yang tersesat mencari alamat
rumah seseorang akan ditolongnya segera dengan tarif sewajarnya. Tak heran pebecak
sering mengalami kisah spiritual. Tak jarang mereka mendapatkan uang lebih
karena ikhlas mengantarkan seseorang yang tersesat sampai berhasil menemukan
tujuannya. Uang tips seperti itu menjadi kisah spiritual dan saling
menguntungkan bagi pebecak dan penumpangnya.
Tidakkah itu menjadi cermin
tingginya kecerdasan spiritual pebecak? Betul, tak semua pebecak berperilaku demikian.
Pada kasus ini,
beliau seorang pebecak yang pekerja keras dalam arti harfiah untuk memperoleh
uang pembeli beras, tempe, tahu.
Tak jarang pebecak bersedekah atas
uang yang diperolehnya. Seribu dua ribu yang didapatnya, sebagian diberikan
kepada orang yang nyaris sama ekonominya dengan dirinya. Ada yang sengaja
membelikan nasi bungkus untuk pengemis dan adakalanya mereka berbagi di antara
pebecak, manisfestasi kecerdasan spiritualnya dalam ujud merasa bahagia melihat
kebahagiaan orang lain. Uangnya berkurang secara kasat mata tetapi ada
kebahagiaan yang diperolehnya.
Pembelaannya
kepada orang lemah yang lebih lemah secara ekonomi ketimbang dirinya, misalnya
pengemis dan tunawisma, pebecak telah memiliki kecerdasan emosi yang tinggi. Di
antara teman sesama profesinya mereka pun tenggang rasa, tidak saling berebut
mencari penumpang. Di pangkalan becak bisa kita lihat betapa mereka antri
dengan tertib. Satu per satu mereka melayani konsumennya, tidak berebut. Mereka
merasa dalam satu komunitas yang saling membutuhkan dan rata-rata atau malah
semuanya berkesulitan ekonomi. Mereka setara secara ekonomi.
Kemauan dan
kerelaan berbagai penumpang mencerminkan kecerdasan emosinya yang tinggi. Mereka
bahkan senang ketika pebecak lain memperoleh penumpang. Mereka yakin, tak lama
lagi mereka akan memperoleh penumpang sesuai dengan jatahnya. Ada rasa senasib
bergelut di hatinya, ujud kecerdasan emosi, mampu peduli pada rasa orang lain,
peka pada nasib teman-temannya.
Pebecak menjadi
pelajaran penting, menjadi contoh yang baik tentang kerja keras, terlepas dari
jumlah penghasilan yang didapatnya dan pendidikan yang ditempuhnya. Jika orang
yang dianggap
kurang terdidik saja bisa berperilaku baik dan benar, kenapa orang-orang terdidik
bergelar sarjana, magister, doktor, profesor tak jua mau peduli, bahkan “memakan”
sesama? Terlebih lagi
kalau mereka sudah masuk di ranah politik, menjadi polibirokrat yang
“menghitamputihkan” nasib orang dan uang (anggaran) dengan sekelebat
tandatangan. Di mana letak kesetiakawanan dan persahabatan?
Berselang dua hari lagi, Ramadhan
1433 H ini usai sudah. Semoga kita bisa bertemu lagi dengan Ramadhan tahun
depan dalam kondisi sehat jasmani, sehat ruhani, dan sehat sosial. Apabila
belum menitipkan zakat fitrah, masih ada waktu dua malam ini. Zakat maal pun
bisa ditunaikan, termasuk diberikan kepada pebecak yang ada di sekitar
perumahan kita. ***
1 Comments:
iya pak, kalau di kota - kota kebanyakan tanya ke tukang becak,,
artikelnya sip pak
Posting Komentar
<< Home