Gede on Writing

Senin, Mei 02, 2011

Hardiknas

Hardiknas: Dari Ilmu, Sains, Pengetahuan, Ke Jalan Lain Ke Teknologi

”Janganlah menuntut ilmu.”

Sampai detik ini, tidak ada kesepakatan yang kongruen di antara para pakar tentang ilmu, sains (ataukah sain), pengetahuan, ilmu pengetahuan, teknologi dan opini. Simpang siur definisi, fungsi, dan manfaatnya bagi manusia (juga bagi hewan dan tumbuhan sebagai biotik dan benda-benda abiotik) masih diperdebatkan. Lantas, perlukah gembar-gembor peringatan Hardiknas per 2 Mei? Adakah manfaatnya seremonial Hardiknas itu bagi eksistensi ilmu, sains, teknologi dan pengembangannya? Bermanfaatkah Hardiknas itu bagi buruh yang sedang merayakan May Day, Harburi, Hari Buruh Internasional per 1 Mei ini?

Dalam ketakjelasan definisi ilmu, sains, teknologi, pengetahuan, ilmu pengetahuan itu, mari dilihat alokasi anggaran pendidikan negara kita yang 20% dari APBN. Menurut Kemendiknas, 80% lebih sedikit dari anggaran itu ternyata masuk ke pundi-pundi pengajar yang notabene bukan untuk pengembangan kapasitas keilmuan, kesainan, keteknologian para pengajar. Sebagian sisanya untuk prasarana dan sarana sekolah, dan sisanya yang sedikit lagi itu barulah untuk penelitian. Masih dipertanyakan lagi, penelitian yang bagaimana? Penelitian ilmu dasar ataukah terapan, dan yang kalibernya bagaimana? Untuk deretan temuan baru ataukah sekadar pengulangan dalam deret ukur di setiap satuan pendidikan?

Ada pertanyaan turutan lain, perlukah artikulasi homogen tentang definisi ilmu dst-nya itu dikaitkan dengan alokasi anggaran pendidikan dalam APBN dan mutu murid, mahasiswa, guru, dosen, karyawan swasta, PNS birokrat, tentara, polisi, politisi, wiraswastawan, wirausahawan, dan bahkan pengangguran di Indonesia? Belum lagi kalau dimasukkan orang-orang yang mengalami masalah psikologis, skizofrenia (schizophrenia), setengah gila atau gila yang keluyuran di jalan-jalan. Bukankah anggaran yang dikumpulkan dari pajak rakyat dan eksploitasi sumber daya alam, menurut pasal 33 UUD 1945, itu pun harus diberikan kepada kalangan ”psychiatric disorder” itu, apalagi yang berkategori fakir miskin dan anak telantar (merujuk ke pasal 34 UUD 1945).

Berkaitan dengan ilmu dan cs-nya itu, perlukah penyatuan definisi dan bukan fungsi kalau sudut epistemologinya saja sudah berbeda? Paling tidak, epistemologi Barat tidak bisa kongruen dengan epistemologi Timur, apalagi dengan epistemologi Islam. Yang berkembang saat ini, dan seolah-olah sudah dibakukan, ilmu disamakan dengan makna sains (science) padahal ilmu kalau diacu ke sumber aslinya, yaitu bahasa Arab, maknanya meliputi fisika dan metafisika. Sedangkan dunia sains Barat hanya mengakui yang empiris, yang justru susah, malah nyaris tak mungkin bisa dibuktikan kalau sudah masuk ke ranah transenden, metafisika seperti percaya adanya Tuhan (Allah Swt), tuhan, dewa, Sang Causa Prima, setan, iblis, jin, malaikat, dst., yang maknawiahnya dikomandani oleh August Comte dalam hal positivistik terhadap sains.

Kegamangan yang sudah berlangsung lama ini kelihatannya tidak menuju muara yang satu, yang homogen. Atau, mestikah para pakar bersepaham, bersepakat dalam satu makna? Bukankah miliaran manusia ini memiliki isi kepala yang berbeda-beda dan menjadi sah dalam ragam pendapat asalkan mozaiknya membentuk kesatuan utuh yang saling menguatkan, saling menolong, dan saling bermanfaat dalam kehidupan sosial, budaya dan ekonomi, tidak terjadi eksploitasi manusia atas manusia lainnya? Jika boleh tidak sepakat, maka seliweran kata ilmu dan cs-nya itu sah-sah saja dimaknai sebagai ”tahu sama tahu, TST” tanpa perlu mengejar penjelasannya, sekalipun bisa terjadi salah tafsir di antara kita, makhluk berjenis manusia ini.

Jika demikian, istilah IPTEK, IPTEKS, Sainstek, Iltek, LIPI, BPPT, dan lain-lain, biarlah menjadi sekadar istilah, seperti halnya Trilogi Pendidikan: sains, teknologi, dan lingkungan, asalkan esensinya berguna bagi manusia. Yang penting bukanlah apa dan siapa, melainkan bagaimana ilmu, sains, pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan teknologi itu bermanfaat bagi kita, digunakan untuk mengurangi jumlah orang fakir miskin dan anak telantar seperti amanat pasal 34 UUD 1945 dan memberikan upah yang layak bagi buruh dan pekerja umumnya dan kepedulian humanistik para majikan dan kalangan pengusaha dan investor. Sebab, doa orang-orang yang ringkih finansial dan dizalimi ini bisa langsung menembus ’Arsy Pencipta alam tanpa tirai sehelai pun.

Benang merah yang ditarik dari Harburi 1 Mei ini dan Hardiknas 2 Mei esok ialah upaya memanfaatkan ilmu, sains, pengetahuan, ilmu pengetahuan untuk menghasilkan produk teknologi yang meninggikan tingkat kemanusian manusia, saling bantu, teposeliro untuk kepentingan bersama dengan cara melaksanakan tugas di bidang masing-masing secara bertanggung jawab. Terdengar klise memang, tetapi faktanya, jasad manusia ini akan berfungsi dengan baik kalau setiap organ berfungsi dan bekerja optimal. Ini identik dengan orkestra yang melantunkan simfoni yang indah, hasil dari paduan beragam alat musik yang taat pada konduktornya. Analoginya dengan jantung yang punya tugas khusus, paru juga, begitu juga tangan, kaki, mulut, telinga, dan semuanya. Masing-masing bekerja dengan baik sehingga sosok tubuh utuhnya mewujud normal.

Maka...., janganlah menuntut ilmu. Apalagi menuntutnya sampai ke negeri China. Yang harus ditutut adalah para penjahat, pencuri, pezina, dan lain-lain semisal itu. Mereka harus dituntut di pengadilan oleh hakim yang adil, jaksa yang jujur, dan polisi yang amanah serta politisi pembuat undang-undang yang bijak. Termasuk pengacara atau advokat yang di luar kelompok ”The Devil Advocate”-nya Al Pacino. Artinya, bukanlah menuntut ilmu melainkan mempelajari ilmu, mendalami ilmu, lalu menggunakannya sebagai pembuat teknologi yang bermanfaat bagi manusia, hewan, tumbuhan, dan benda abiotik lainnya. Kulminasinya memang teknologi, perangkat, alat bantu yang memudahkan hidup manusia lewat industri. Tanpa industri, maka teknologi seperti pohon tak berbuah. Tanpa ilmu, sains, maka seperti pohon tanpa akar. Tanpa peduli lingkungan, maka teknologi bagai bom waktu bagi manusia dan dunia.

Dikaitkan dengan APBN, masih dalam spirit Hardiknas, maka selain porsi besar untuk ”konsumsi” sehari-hari para pengajar, porsi yang harus diperluas ialah sektor penelitian, baik ilmu dasar seperti fisika, kimia, biologi, dan matematika (meskipun epistemologi Barat memandang matematika bukanlah ilmu dan dianggap tidak jelas status ontologisnya) maupun ilmu terapan (teknologi), ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Yang disebut terakhir ini melingkupi semuanya, bahkan masih tersimpan gigarahasia yang tak terperikan di dalamnya. Di sinilah peran sekolah (SD s.d PT) untuk menumbuhkan imajinasi penelitian dengan ide-ide tak hingga.

Ujungnya..., rupiah jualah yang tak bisa bohong karena riset memang perlu fulus agar mulus pula mesin-mesin pikiran manusia. Oleh sebab itu, dalam menyambut Hardiknas 2011 ini diusulkan untuk membalik porsi anggaran yang 20% APBN tersebut agar riset didudukkan di singgasananya yang layak dengan tetap menyejahterakan pengajarnya.

Banyak jalan menuju Roma, banyak cara menambah ilmu. Dari ilmu ke jalan lain ke teknologi, singgah dulu di industri.

Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. *
---------------------ghc--------------------------

NB. May day, may day, SOS, SOS. Koreksi sedikit, kalimat: ”janganlah menuntut ilmu”, anggaplah sekadar ”joke” pengisi hari libur ini. He he he.