Gede on Writing

Minggu, Agustus 08, 2010

Ramadhan: Ganti Kulit




Kulit tak sekadar aksesoris untuk kontak awal dengan dunia luar dan orang lain, tetapi juga berfungsi melindungi bagian dalam badan yang lebih fungsional, yang lebih penting daripada kulit. Baik kulit ari maupun kulit jangat, keduanya menjadi perisai terhadap benda asing yang menyentuh atau melukai kulit. Sebagai salah satu dari pancaindra, kulit menjadi detektor dini terhadap rasa (sense) yang dikeluarkan oleh sinyal atau gelombang dan sentuhan massa (benda) dan energi.

Kulit dapat pula menjadi pagar terluar bagi organ dalam tubuh sekaligus menjadi tameng terhadap keburukan yang datang maupun yang “pergi atau keluar” dari dalam tubuh. Lebih khusus lagi, kulit adalah protektor diri atas segala “rahasia” yang tarafnya top secret. Di sinilah kulit bermakna konotatif yang menjadi objek utama shaum Ramadhan. Kulit yang bopeng oleh karakter buruk, perilaku busuk seperti khianat, dusta, ingkar, dan penyakit hati lainnya, akan dikikis hingga tipis setipis-tipisnya oleh “gerinda Ramadhan”. Nyeri memang, digerinda oleh Ramadhan, dikikir oleh Tarawih, digergaji oleh bangun pagi-pagi, dan diasamkan oleh lapar-dahaga.

Namun tirai iman mampu menguatkan badan dan ruhani sehingga tetap mampu melewati hari demi hari shaum Ramadhan. Bahkan mampu menanggalkan kulit-kulit kotor yang dipenuhi bopeng-bopeng perilaku selama 11 bulan sebelumnya. Ramadhan menjadi momen ganti kulit seperti ular yang periodik ikhlas melepas kulit kotornya menjadi kulit baru. Ramadhan menjadi pelepas kulit ruhani yang menopengi badan berbalut kulit fisik ini. Berhasil tidaknya akan ketahuan justru selama 11 bulan setelah Ramadhan, apakah penyakit hati itu masih bernaung di hati ataukah sudah berkurang, bahkan terkikis habis. Kalau masih ada cacat moral satu-dua-tiga bagian, maka Ramadhan tahun berikutnya menjadi arena kawah candradimuka lagi. Begitu seterusnya hingga datang “yang pasti”, yakni mati. *


‘Met Shaum Ramadhan 1431 H.