Gede on Writing

Jumat, Juli 30, 2010

Dari Lapindo Ke Jalan Lain Ke Roma

Dari Lapindo Ke Jalan Lain Ke Roma

Hari Sabtu, 29 Mei 2010 adalah hari ulang tahun ke-4 Lumpur Lapindo. Layaknya ulang tahun yang diperingati oleh manusia, lantunan lagu Selamat Ulang Tahun dinyanyikan oleh kalangan korban dan pekorban Lumpur Lapindo, ”semoga panjang umur?”. Bukan bermaksud sinisme, tetapi faktanya sampai sekarang ahli geologi, hidrologi, hidrolika, mekanika fluida, dll belum mampu menghentikan aliran lumpur itu dan belum tahu kapan akan mati (berhenti).

Dari ”kutukan alam” Lapindo itu, terbentang jalan menuju Roma, tepatnya sepekan ke depan, tanggal 5 Juni 2010 yang disakralkan sebagai Hari Lingkungan Dunia. Diawali oleh The Club of Rome pada tahun 1972 yang mengeluarkan laporan The Limits to Growth, Batas Pertumbuhan, bahwa pertumbuhan manusia tidak boleh dibiarkan tanpa batas karena sumber daya alamnya terbatas dan terus terjadi pencemaran. Gerakan zero growth, pertumbuhan nol itu akhirnya berkembang menjadi gerakan separatis, yakni gerakan yang ”melawan kemajuan sainstek”.

Di lain pihak, hasil sensus penduduk pada Mei 2010 ini membuat pemerintah terhenyak, terkaget-kaget. Orang Indonesia ternyata produktif dalam beranak-pinak. Pertumbuhan penduduk yang cepat inilah yang menyedot sumber daya alam tanpa diiringi oleh ”pemulihan kondisi”, baik sumber daya alam yang dapat dipulihkan (diperbarui) maupun yang tidak dapat dipulihkan (tanpulih). Penduduk, pembangunan, dan pencemaran menjadi tiga sekawan yang serangkai, terlibat dalam permainan P (P-game). Penduduk (baca: manusia) perlu pembangunan, tetapi harus berwawasan lingkungan, yakni lingkungan yang langgeng mendukung pembangunan. Begitu sebaliknya.

Tetapi yang terjadi tidak demikian. Lumpur Lapindo adalah salah satu keteledoran manusia dalam menggunakan alam, jika kita menafikan konsep ”kutukan alam”. ”Telah terjadi kerusakan di darat (udara) dan di laut karena ulah manusia (Ar-Ruum: 41)”. Alam adalah lingkungan hidup manusia, yang beberapa komponennya ialah tanah, udara dan air. Maka, yang positif dari pemerintah perlu didukung, misalnya rencana presiden SBY untuk menanami lahan kritis dengan sawit dan pupuknya dari kompos, bukan dengan cara membuka hutan. Arif dalam memilih teknologi agar tidak mencemari udara, misalnya dengan cara menolak PLTSa, dan berupaya melindungi atau konservasi sumber daya air dengan membuat IPAL (yang tepat guna, bukan IPAL berbasis mekanikal yang mahal dan membebani biaya O-M, malah ”Investor Tak Minati IPAL Terpadu” (koran Pikiran Rakyat) seperti di Kab. Bandung).

Poin-poin tersebut akan dapat melestarikan fungsi lingkungan sehingga mampu mendukung keberlanjutan hidup manusia di Bumi ini.

Selamat Hari Lumpur Lapindo, selamat Hari Lingkungan Dunia, 5 Juni 2010.

Selamat ”merantau”, Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. *