Gede on Writing

Jumat, Juli 30, 2010

Kabayan Jadi Ustadz

Kyai, mubaligh, atau ustadz adalah profesi terhormat, apalagi di Indonesia. Usai ceramah, dakwah, tausiah senantiasa diberi “berkat”. Itu sebabnya, Kabayan ingin menjadi ustadz demi “berkat” yang dibagikan oleh jamaah. Setelah kursus singkat kepada Kyai Yusuf, lantas Kabayan berceramah atas undangan sejumlah kalangan. Menarik caranya bertutur karena diselipi humor-humor yang “masih di dalam rel normatif Islam”.

“Saum adalah ibadah untuk Allah. Tapi bukan seperti orang saum yang ketika sahur menghabiskan bergentong-gentong nasi, lauk, sayur, susu, kurma, madu, dll. Juga tidak “balas dendam setelah Magrib..., “ kata Kabayan yang disambut senyum hadirin.

Karena disukai oleh jamaahnya, banyaklah undangan ceramah pada Ramadhan itu. Usai kuliah Shubuh, disambung ceramah Dhuha. Lantas “kultum” di masjid bakda Dhuhur. Bakda Asar mengisi pengajian ibu-ibu dan ceramah Tarawih pada malam hari. Jamaah pun menaruh hormat kepada Kabayan sehingga banyak yang mengirimkan “berkat” berupa nasi, lauk, sayur, beras, ubi, kelapa, cengkaleng, singkong, dll. Ada yang berupa bahan mentah, banyak juga yang sudah dimasak, siap disantap.

Keganjilan kemudian terjadi. Memasuki pekan ketiga Ramadhan, jamaah bertanya-tanya, kenapa Kabayan jarang shalat berjamaah di masjid. Beberapa warga menanyakan hal tersebut kepada Kyai Yusuf. Setelah menenangkan jamaahnya dan meminta mereka mendoakan Kabayan agar diberi kesehatan dan keberkahan, kyai lantas pergi. Kyai khawatir terjadi sesuatu yang “mencelakakan” Kabayan akibat aktivitas dakwahnya.

Benar saja. Kabayan sedang tidur di dipan dengan napas tersengal-sengal. Perutnya buncit. “Duh aduuh kyai, banyak sekali makanan yang dikirim ke sini. Saya takut makanan ini basi dan mubadzir. Jadi semuanya saya makan.”

“Inilah salah satu godaan menjadi ustadz, Kabayan! Melanggar apa yang diceramahkan kepada jamaah. Mereka tidak tahu ustadznya malah kekenyangan karena kalah melawan godaan makanan-minuman lezat. Apalagi dulu merasa sangat susah mendapatkan makanan-minuman selezat itu. Sekarang balas dendam.”

Kabayan terisak-isak, badannya bergetar, perutnya terguncang.

“Sekarang istirahat saja, tapi besok harus ke masjid untuk shalat Isya dan Tarawih.”

“Tidak kyai, saya tidak mau menjadi ustadz lagi. Saya tidak sanggup. Lebih baik jadi orang biasa saja.”

“Ya Kabayan.., tapi ingat..., orang biasa juga harus ke masjid.”

“Iya kyai, tapi tidak sebagai ustadz!”

“Jangan sedih Kabayan, pengalaman ini pun dialami banyak ustadz. Termasuk saya waktu nyantri dulu, sebelum kamu lahir.“

Isak Kabayan berhenti. Tatapannya lurus ke siluet kyai yang hilang di tikungan jalan. Krikan jangkrik mengisi tobatan Kabayan yang berwudhu di pancuran sebelah rumahnya. Dingin pun jatuh.

Esok lusa adalah hari-hari baru baginya. Kembali berbuka (ifthar) dan kembali fitrah, suci (fithrah). ‘Idul Fitri.*


(Diadaptasi dari Si Kabayan Jadi Sufi, karya Yus R. Ismail).