Gede on Writing

Kamis, Februari 04, 2010

Nasional Demokrat

”Bukan barisan sakit hati,” begitu tulis media massa berkaitan dengan deklarasi Nasdem di Jakarta. Betul tidaknya tentu hanya mereka, para personal Nasdem yang tahu. Lepas dari sakit atau tidak hatinya (ssst.., makan kunyit bisa sembuh lho, kata Miss Herbal, :-)), hidup ini memang plural, jamak, majemuk, bhinneka. Yang kembar satu ovum saja berbeda fisiknya, apalagi psikisnya. Yang satu suku saja beda aliran politiknya, juga beda agamanya. Yang satu keluarga pun ada yang beda agamanya. 

Jadi..., Bhinneka Tunggal Ika. ”Bukan cikal partai politik”, begitu ujaran yang dikutip koran-koran. Sebetulnya tak masalah kalau dijadikan bakal partai politik. Boleh-boleh saja, tak ada yang melarang. Tinggal nanti, saat pemilu, berapa orang yang memilihnya. Kalau banyak yang memilih tentu dapat kursi di DPR/D bahkan pentolannya bisa menjadi presiden atau wapres. Kalau jumlah pemilihnya sedikit, ya... jadi garam. Eh... gurem. Namanya juga alam demokrasi, tak perlu malu-malu kalau ingin mendirikan partai, sah-sah saja. Halal. Mau namanya negeri seribu partai, mau namanya Kabinet Seratus Menteri, atau bahkan Kabinet Kocar-Kacir, ya... ra po po, tak apa-apa. 

Namun demikian, ada yang wajib diingat, diresapi sampai meresap di hati (bukan lever, bukan hepar melainkan qalbu) orang-orang yang mendirikan ormas atau partai itu, yaitu jujur dan adil. Jurdil. Jujur artinya tidak bohong, sesuai dengan faktanya dan adil berlaku kepada diri sendiri, adil kepada orang lain, adil dalam memutuskan perkara. Adil itu proporsional, sesuai dengan tugasnya, setimbang antara hak dan kewajiban. Konstituen, simpatisan, kader, pengurus partai dan personal partai yang menjabat di pemerintahan (daerah dan pusat) juga berada dalam neraca kesetimbangan. Begitu kata ahli peradilan di depan pencari keadilan yang akan diadili di kantor pengadilan. 

Kembali ke soal Nasdem. Kemunculan Nasdem tak berbeda dengan kemunculan ormas-ormas yang akhirnya menyublim menjadi partai pada awal reformasi, tahun 1997/1998. Ormas itu pun lantas menggeliat, lebih tepat adalah tokoh-tokohnya, kemudian mendirikan partai. Puluhan partai pun menjamur, bak cendawan musim hujan. Namun akhirnya terbukti, sepuluh tahun kemudian, partai yang eksis tak lebih dari jumlah jari tangan. Malah cenderung berkurang dari pemilu ke pemilu. Prediksi pengamat politik, dalam duapuluh tahun ke depan, hingga 2030, jumlah partai di Indonesia akan berujung di angka empat. Partai apa saja itu..., rahasia lho :). 

Adakah Nasdem di dalamnya? (ini andaikata Nasdem bermetamorfosis menjadi partai, tentu saja). Sekali lagi, ormas yang berubah menjadi partai ya..., monggo-monggo aja. Plis plis saja. Indonesia incorporated, dihela dari Sabang sampai Merauke, dari Sangihe sampai Rote, dengan mozaik pulau yang jumlahnya, kata sahibul hikayat: 16.666 pulau, sudah dikurangi Pulau Sipadan - Ligitan yang lepas ke Malaysia, termasuk Ambalat dan East Ambalat yang kaya minyak dan gas. Juga termasuk semua pulau yang tak bernama dan pulau ”jejadian”, yakni pulau yang muncul pada saat surut air laut tetapi lenyap saat pasang. Keragaman pulau, keanekaan suku, kebhinekaan budaya, kemajemukan agama menjadi bukti riil yang membolehkan perbedaan, termasuk beda haluan politik. 

Inilah Indonesia, negara pelangi nan subur (tapi belum makmur) yang bercita-cita toto tentrem kerto raharjo, thok... thock-thock... thokk. Nasdem dan ormas lainnya, partai bekursi dan yang tak bekursi di dewan, adalah pernak-pernik pualam, pewarna marmer yang dipasang di lantai rumah bernama Indonesia. Ia mirip pelangi yang indah karena variasi warnanya, yaitu mejikuhibi(ni)u: merah, jingga, kuning, hijau, biru, (nila), ungu. (Warna nila, menurut sebuah sumber, tidak ada dalam busur pelangi. Betulkah?). Pelangi mengindah justru karena separasi warnanya. Tak ada warna yang harus mengalah karena dipaksa warna lain, atau harus seragam, misalnya menjadi merah semua, hijau semua, kuning semua, ungu semua. Sebab, kalau satu warna namanya bukan pelangi donk, tapi pelongo: orang yang melongo alias blow on, semilir angin... blo’on (maaf). 

Apalagi manusia memang diciptakan secara berkelompok (QS. 49:13) yang masing-masing punya kekhasan dan saling membutuhkan, perlu saling kenal sebagai makhluk sosial. Ini adalah basic need kalau merujuk ke piramida Maslow modifikasi buatan Zohar-Marshall. Manusia butuh organisasi justru karena manusia itu bersuku-suku dan beragam agamanya sehingga wajar mereka mendirikan ormas dan partai. Ini hukum alam, sunnatullah. 

Kalimat kuncinya ialah bersatu dalam perbedaan, toleransi harmonis dalam pluralitas (bukan pluralisme).* Selesai mengetik asterisk di atas, bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Lalu ada bisikan, ”Pak, bikin partai yuk!” ”Partai apa?” spontan kujawab. ”Ya parpol dong. Politik.” ”Namanya apa?” entah kenapa, mulutku menjawab sendiri, padahal hatiku berontak. ”Partai Century aja gimana?” lirih, tapi makin jelas suaranya, dari belakangku. ”Jangan itu, mending Kenduri.” tak kuasa kututup mulutku. ”Kenduri...? Bagus. Bagus. Partai Kenduri Gurita.” tengkukku dingin didesir angin dari jendela... ddhaarrr... kilat menerangi kibor komputer. ”..