Gede on Writing

Kamis, Maret 17, 2011

Ranah 3 Warna


Ranah 3 Warna, Pesan Kiai Rais
Oleh Gede H. Cahyana

Banyak hal menarik terkandung di dalam R3W, mulai dari nama tempat, bahasa asing dan daerah, tatakutip yang berkaidah tatatulis ilmiah, hingga isi yang menjadi benang merah novel. Kali ini saya hendak berbagi tentang bagian akhir R3W yang mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca.

Di halaman 467 novel ini ada kutipan bernas. Berasal dari tulisan tangan Kiai Rais di Pondok Madani, lembaran fotokopian itu menggaet pikiran dan tangan saya sehingga muncullah “catatan” ini. Tulisan Kiai Rais bagai pelita di atas batu hitam, pada temaram gulita malam. Untaian katanya yang kaya makna bak ragam warna dan kurva liukan Aurora borealis. Kebeningannya laksana kristal guguran gunung Larsen Ice yang pecah di Antartika dan tulisannya yang melegenda itu tak lekang oleh waktu bagai Titanic yang seolah-olah legenda, padahal fakta.
--------------------*--------------------

Anak-anakku...

Akan tiba masa ketika kalian dihadang badai dalam hidup. Bisa badai di luar diri kalian, bisa badai di dalam diri kalian. Hadapilah dengan tabah dan sabar, jangan lari. Badai pasti akan berlalu.

Anak-anakku...

Badai paling dahsyat dalam sejarah manusia adalah badai jiwa, badai rohani, badai hati. Inilah badai dalam perjalanan menemukan dirinya yang sejati. Inilah badai yang bisa membongkar dan mengempaskan iman, logika, kepercayaan diri, dan tujuan hidup. Akibat badai ini bisa lebih hebat dari(pada) badai ragawi. Menangilah badai rohani dengan iman dan sabar, kalian akan menjinakkan dunia akhirat.

Anak-anakku...

Bila badai datang, hadapi dengan iman dan sabar. Laut tenang ada untuk dinikmati dan disyukuri. Sebaliknya laut badai ada untuk ditaklukkan, bukan ditangisi. Bukankah karakter pelaut andal ditatah oleh badai yang silih berganti ketika melintas lautan tak bertepi?

Hidup ini dimozaiki oleh aneka ragam kepingan pazel badai dengan menimba ilmu dari ranah kognitif di beragam jenis ilmu (al ‘ilm), sains (empirical science), pengetahuan (knowledge), dan teknologi. Ada yang berhasil menyusunnya menjadi ornamen indah setelah menapaki jejak panjang ranah psikomotorik man jadda wajada, tetapi ada juga yang kandas kemudian karam seperti Titanic karena gagal dalam ranah afektif man shabara zhafira.


----------------


Di halaman 468 ada tulisan penutup yang layak diserap maknanya. Ditulis di puncak Saint-Raymond, AF: pengarang novel ini, menulis tentang peran signifikan sabar yang ia alami mulai dari Bandung, Amman, hingga Saint-Raymond kemudian diramu dengan usaha dan doa sehingga menjadi adonan yang lengkap: usaha, sabar, doa (USD). (Ada juga akronim yang seide dengan USD (US Dollar), yaitu DUIT: Do’a, Usaha, Ikhtiar, Tawakal.


Di dalam lembaran diary-nya yang bersampul kulit hitam, AF menulis begini:

Hidupku selama ini membuat aku insaf untuk menjinakkan badai hidup, “mantra” man jadda wajada saja ternyata tidak cukup sakti. Antara sungguh-sungguh dan sukses itu tidak bersebelahan, tapi ada jarak. Jarak ini bisa hanya satu sentimeter, tapi bisa juga ribuan kilometer. Jarak ini bisa ditempuh dalam hitungan detik, tapi juga bisa puluhan tahun.

Jarak antara sungguh-sungguh dan sukses hanya bisa diisi sabar. Sabar yang aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar yang penuh dari pangkal sampai ujung yang paling ujung. Sabar yang bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, bahkan seakan-akan itu sebuah keajaiban dan keberuntungan. Padahal keberuntungan adalah hasil kerja keras, doa, dan sabar yang berlebih-lebih.

Bagaimanapun tingginya impian, dia tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup sudah digelung oleh nestapa akut. Hanya dengan sungguh-sungguhlah jalan sukses terbuka. Tapi hanya dengan sabarlah takdir itu terkuak menjadi nyata. Dan Tuhan selalu memilihkan yang terbaik dan paling kita butuhkan. Itulah hadiah Tuhan buat hati yang kukuh dan sabar.

Sabar itu awalnya terasa pahit, tetapi akhirnya lebih manis daripada madu. Dan alhamdulillah, aku sudah mereguk madu itu. Man shabara zhafira. Siapa yang sabar akan beruntung.

AF, di puncak Saint-Raymond.

Bandung, 17 Maret 2011