Gede on Writing

Senin, Agustus 20, 2012

Evaluasi (Semua) Hakim Tipikor


Oleh Gede H. Cahyana

Bagai guntur di siang bolong, siang itu, setelah upacara peringatan HUT ke-67 RI, dua orang hakim Tipikor ditangkap tim KPK di Semarang. Itu sebabnya, ceramah Idulfitri 1433 H diwarnai juga dengan intonasi kuat tentang suap, korupsi, manipulasi dan sejenisnya (bukan pencurian “ecek-ecek” seperti maling singkong sekadar untuk penangkis lapar kaum fakir miskin). Padahal gaji (baca: penghasilan sebulan) hakim sudah lebih besar daripada umumnya PNS.

Kita masih ingat, betapa marak mafia peradilan dan calo kasus di negeri ini meskipun ada Pedoman Perilaku Hakim yang juga menuai kontroversi. Semua poin dalam pedoman itu bersifat idealis. Hanya saja, waktu itu, ada satu hal yang diperdebatkan, yaitu pemberian hadiah atau upeti. Berkaitan dengan ini, seorang rektor sebuah PTS di Bandung bercerita begini. Suatu hari ia didatangi seseorang yang akan membuatkannya jas. Sebelum mengukur, rektor ini bertanya, apakah kalau dia tidak menjadi rektor orang itu akan datang juga untuk membuatkannya jas? Ternyata orang itu datang ke rektor karena ada sesuatu yang diharapkannya, berkaitan dengan kelancaran bisnisnya.

Kasus demikian pun kerapkali terjadi di lingkungan petugas hukum yang seharusnya menjadi penegak hukum. Bahkan ada yang sengaja memanfaatkan jabatannya demi raihan harta berupa uang dan barang. Sudah pula jadi rahasia umum, aparat hukum itu, tak hanya hakim tapi juga yang lainnya, berada di titik nadir, tak tampak upaya untuk bangkit. Jangan-jangan aparat hukum kita memang belum pernah berada di atas yang berarti belum pernah turun, yang juga berarti sudah sejak awal berada di titik terendahnya. Sudah rahasia umum, hukum tak berlaku bagi penguasa dan pengusaha besar tapi hanya diterapkan pada rakyat kecil bahkan sewenang-wenang. Masihkah berlaku slogan hukum harus ditegakkan meski esok langit akan runtuh?

Ada kisah menarik yang terjadi pada zaman Khalifah Al Mansyur. Suatu kali khalifah ingin mengangkat seorang hakim dan ia sudah tahu siapa saja kandidatnya. Ada empat orang sufi yang dipanggilnya. Sufi, pada masa itu, selain tawadhu juga kaya ilmu, bijak, adil. Yang pertama adalah Abu Hanifah, lalu Sofyan Tsauri, Misar dan Suraih. Sebagai orang ‘alim pada zamannya, mereka tahu bahwa pekerjaan hakim sangat berat, salah-salah bisa dibalas dengan neraka di akhirat. Itu sebabnya, masing-masing sudah punya niat untuk menolak jabatan hakim. Sama sekali mereka tak tertarik pada jabatan itu apalagi kampanye di depan khalayak untuk memperoleh dukungan seperti masa kini. 

Abu Hanifah, setelah bertemu muka dengan khalifah, mengutarakan berbagai argumentasi bahwa dirinya tak cocok menjadi hakim meskipun ia dikenal sebagai seorang ulama dan ahli hukum. Lantaran kegigihannya itu, Abu Hanifah terhindar dari jabatan hakim dan ia bersyukur tak mengemban jabatan itu. Sufi lainnya, yaitu Sofyan Tsauri malah melarikan diri demi menghindari tugas berat itu. Yang luar biasa adalah Misar. Besar sekali pengorbanannya karena ia rela berperilaku gila agar khalifah tak memilihnya. Yang terakhir adalah Suraih. Ia juga menolak jabatan itu dengan cara berpura-pura sakit keras. Namun khalifah justru memerintahkan aparatnya untuk mencari tabib terbaik. Mau tak mau, jabatan hakim itu akhirnya disematkan ke pundaknya.

Tampak betapa orang-orang berilmu itu menolak jabatan hakim, sebuah jabatan yang sangat diminati di negeri Indonesia. Tak hanya jabatan hakim, tapi juga jabatan-jabatan lainnya yang berkaitan dengan hukum dan keadilan. Begitu pun yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat di berbagai departemen, dinas, dan lembaga sarat dengan main uang, sogok-menyogok, suap-menyuap, sebuah bagian dari ketidakadilan. Bahkan dalam penerimaan murid baru SMP, SMA pun terjadi ketidakadilan. Tender-tender projek, baik pada taraf konsultan, kontraktor dan supervisi juga demikian. Yang paling anyar adalah Simulator Sim yang sim salabim nilainya. Demi kenaikan pangkat lewat jalur sekolah pun harus terlebih dahulu menyerahkan uang agar urusannya mudah dan saling sikut dengan temannya.

Jadi, nyaris tak ada satu profesi pun di negeri nyiur melambai ini yang tidak melibatkan uang dan jauh dari keadilan. Padahal dalam Al Qur’an Surat An-Nisaa: 58, ditegaskan seperti ini: Jika kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menghukum dengan adil. Artinya, kalau tidak adil, maka keadilan itu akan diterapkan di akhirat kelak dan hakimnya akan dimintai tanggung jawab oleh Sang Mahahakim: Allah Swt. Hal serupa bisa disimak pada kata-kata Nabi Muhammad dalam hadisnya ini: Jika Fatimah anak perempuan Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya. Adakah yang berani demikian? Yang terjadi justru aparat hukum makin melindungi saudaranya yang jelas-jelas salah dan berupaya dengan segala daya, termasuk pamer kekuasaan dan uang untuk membebaskannya dari jeratan hukum.

Begitulah wajah hukum dan peradilan di Indonesia, sebuah wajah bopeng carut-marut. Orang yang telah jelas bersalah bisa melenggang di udara bebas, tapi yang tak bersalah atau masih samar-samar malah mendekam di penjara. Betullah kata sejarawan bernama Gibbon, penulis buku The Decline and The Fall of Rome. Katanya: kehancuran Romawi karena hukumnya tak dipatuhi. Mereka pintar membuat hukum dan peraturan demi sekadar dibuat dan disahkan tapi tak dipedulikan. Hukumnya dijadikan hiasan dan diperjualbelikan seperti barang dagangan. Perkara adalah tambang uang yang kapan pun bisa digali.

Maka, apabila hadiah, upeti, kiriman, kado, parcel dll terus mengitari aparat yang seharusnya menegakkan hukum, tunggulah kehancuran negeri ini sekaligus kehancuran pelakunya di akhirat kelak. Atau, jangan-jangan negeri ini memang sudah hancur. Apabila belum hancur dan semua aparat hendak tobat, perlulah mengingat yang berikut ini. Penyuap dan yang disuap tempatnya adalah neraka, demikian sabda Muhammad, nabi akhir zaman saat menjelaskan perkara suap (riswah).

Jadi, evaluasi lagi hakim Tipikor agar jelas rekam jejaknya oleh lembaga independen, termasuk ‘alim ulama. Juga evaluasi lagi sebaran pengadilan Tipikor di provinsi (barangkali ada beberapa provinsi yang masih layak memiliki pengadilan ini dan dapat dijadikan rujukan bagi provinsi lainnya yang berdekatan). ***