Gede on Writing

Kamis, Agustus 16, 2012

Belajar dari Tukang Becak

Oleh Gede H. Cahyana

Jamaah shalat Tarawih relatif banyak, luber sampai ke emper masjid, di selasar kirinya. Saya kebagian duduk di luar, tak jauh dari tempat wudlu. Tak lama kemudian saya melihat seseorang masuk lewat pintu pagar samping, langsung menuju tikar di dekat saya. Ia menggelar sajadah agak lusuh, pinggirnya terlepas sehingga benang-benangnya terjurai. Empat rakaat shalat Isya ditunaikannya. Ia kemudian berdiri lagi, melaksanakan shalat sunat dua rakaat. Usai itu barulah ia berzikir.  

“Baru datang, Pak?”
“Iya. Tadi ngantar penumpang dulu.”
“Ke mana, Pak?”
“Ke kompleks. Tak jauh dari sini.

Obrolan kami terputus karena ceramah tarawih segera dimulai. Usai tarawih, saya sempat berbincang lagi sebentar. Mang becak atau pebecak, dianggap kelas bawah. Hanya saja, tidak semua pebecak rendah pula kualitas kecerdasan spiritualnya. Tak sedikit yang rela menolong orang dan merasa bahagia ketika ada orang yang tersesat lalu minta pertolongannya. Banyak yang enggan memanfaatkan kesempitan orang baru misalnya, untuk meraih keuntungan. Orang-orang yang tersesat mencari alamat rumah seseorang akan ditolongnya segera dengan tarif sewajarnya. Tak heran pebecak sering mengalami kisah spiritual. Tak jarang mereka mendapatkan uang lebih karena ikhlas mengantarkan seseorang yang tersesat sampai berhasil menemukan tujuannya. Uang tips seperti itu menjadi kisah spiritual dan saling menguntungkan bagi pebecak dan penumpangnya.

Tidakkah itu menjadi cermin tingginya kecerdasan spiritual pebecak? Betul, tak semua pebecak berperilaku demikian. Pada kasus ini, beliau seorang pebecak yang pekerja keras dalam arti harfiah untuk memperoleh uang pembeli beras, tempe, tahu.  Tak jarang pebecak bersedekah atas uang yang diperolehnya. Seribu dua ribu yang didapatnya, sebagian diberikan kepada orang yang nyaris sama ekonominya dengan dirinya. Ada yang sengaja membelikan nasi bungkus untuk pengemis dan adakalanya mereka berbagi di antara pebecak, manisfestasi kecerdasan spiritualnya dalam ujud merasa bahagia melihat kebahagiaan orang lain. Uangnya berkurang secara kasat mata tetapi ada kebahagiaan yang diperolehnya.

Pembelaannya kepada orang lemah yang lebih lemah secara ekonomi ketimbang dirinya, misalnya pengemis dan tunawisma, pebecak telah memiliki kecerdasan emosi yang tinggi. Di antara teman sesama profesinya mereka pun tenggang rasa, tidak saling berebut mencari penumpang. Di pangkalan becak bisa kita lihat betapa mereka antri dengan tertib. Satu per satu mereka melayani konsumennya, tidak berebut. Mereka merasa dalam satu komunitas yang saling membutuhkan dan rata-rata atau malah semuanya berkesulitan ekonomi. Mereka setara secara ekonomi.

Kemauan dan kerelaan berbagai penumpang mencerminkan kecerdasan emosinya yang tinggi. Mereka bahkan senang ketika pebecak lain memperoleh penumpang. Mereka yakin, tak lama lagi mereka akan memperoleh penumpang sesuai dengan jatahnya. Ada rasa senasib bergelut di hatinya, ujud kecerdasan emosi, mampu peduli pada rasa orang lain, peka pada nasib teman-temannya.

Pebecak menjadi pelajaran penting, menjadi contoh yang baik tentang kerja keras, terlepas dari jumlah penghasilan yang didapatnya dan pendidikan yang ditempuhnya. Jika orang yang dianggap kurang terdidik saja bisa berperilaku baik dan benar, kenapa orang-orang terdidik bergelar sarjana, magister, doktor, profesor tak jua mau peduli, bahkan “memakan” sesama? Terlebih lagi kalau mereka sudah masuk di ranah politik, menjadi polibirokrat yang “menghitamputihkan” nasib orang dan uang (anggaran) dengan sekelebat tandatangan. Di mana letak kesetiakawanan dan persahabatan?

Berselang dua hari lagi, Ramadhan 1433 H ini usai sudah. Semoga kita bisa bertemu lagi dengan Ramadhan tahun depan dalam kondisi sehat jasmani, sehat ruhani, dan sehat sosial. Apabila belum menitipkan zakat fitrah, masih ada waktu dua malam ini. Zakat maal pun bisa ditunaikan, termasuk diberikan kepada pebecak yang ada di sekitar perumahan kita. ***

1 Comments:

At Rabu, 22 Agustus 2012 pukul 19.57.00 WIB, Anonymous karim said...

iya pak, kalau di kota - kota kebanyakan tanya ke tukang becak,,
artikelnya sip pak

 

Posting Komentar

<< Home