Gede on Writing

Senin, Desember 07, 2009

Hukum: KPK vs POLRI

Orang barbar (biadab) dinisbatkan kepada orang atau sekelompok orang yang dianggap tak tahu aturan, tak tahu hukum, dan hidupnya liar di alam buas. Sebaliknya, orang yang tahu hukum, hidup bermasyarakatnya diatur oleh hukum, dan hidupnya teratur dalam sebuah kampung, dusun, desa, kota, atau negara biasa disebut orang beradab. Beradab sama dengan memiliki adab, berbudaya, humaniora, dan terkait dengan (sejarah) peradaban adiluhung. Itu sebabnya, sejumlah perguruan tinggi memiliki Fakultas Adab dengan prodi yang berkaitan dengan kesejarahan, peradaban, kesusasteraan, kemanusiaan. Lebih jauh lagi, semua siswa dan mahasiswa pasti sudah pernah belajar adab, ilmu budaya dasar, dan ilmu agama. Atau, minimal kalangan yang usianya sekarang (2009) di atas 40 tahun pasti sudah pernah mengikuti penataran P4, selain belajar pelajaran Pancasila.

Sudahkah pelajaran-pelajaran tersebut diterapkan dalam keseharian? Tentu pribadi masing-masing yang mampu menjawabnya secara jujur. Hanya saja, kalau kita melihat keadaan pejabat negara yang bersengketa, khususnya antara aparat hukum seperti KPK, Polisi (mungkin juga Jaksa, Hakim, MA) seolah-olah mereka tidak tahu hukum. Padahal gelarnya sarjana hukum, sarjana sosial, magister hukum, magister humaniora. Orang zaman dulu yang tidak tahu hukum disebut barbar (barbarian: uncivilized person: especially in ancient times, a member of a people whose culture and behavior was considered uncivilized (sometimes considered offensive), mirip dengan film Conan The Barbarians, sebuah film yang dipenuhi tayangan otot, bukan kekuatan otak.

Memalukan memang, pejabat tinggi berkelakukan sama dengan kanak-kanak, tak beda jauh dengan cucu-cucunya, mengadu ke sana, merajuk ke sini, dan berupaya mencari pelindung dan dukungan dengan berbagai cara. Pejabat yang tahu hukum justru menjadi peleceh hukum, pelacur hukum. Apapun hakikat di balik berita yang (seolah-olah) fakta karena diberitakan di media cetak dan elektronik, hakikat yang hakiki adalah pengetahuan Allah. Hanya saja, “tangan Tuhan” ini tidak tampak segera turun tangan, mengayun kepada kalangan yang salah dan memeluk kalangan yang benar. “Tuhan Tahu, Tapi Menunggu,” tulis Leo Tolstoy.

Ada kisah menarik yang terjadi pada zaman Khalifah Al Mansyur. Suatu kali khalifah ingin mengangkat seorang hakim dan ia sudah tahu siapa saja kandidatnya. Ada empat orang sufi yang dipanggilnya. Yang pertama adalah Abu Hanifah, lalu Sofyan Tsauri, Misar dan Syuraih. Sebagai orang ‘alim pada zamannya, mereka tahu bahwa pekerjaan hakim sangat berat, salah-salah bisa dibalas dengan neraka di akhirat. Itu sebabnya, masing-masing sudah punya niat untuk menolak jabatan hakim. Sama sekali mereka tak tertarik pada jabatan itu.

Abu Hanifah, setelah bertemu muka dengan khalifah, mengutarakan berbagai argumentasi bahwa dirinya tak cocok menjadi hakim meskipun ia dikenal sebagai seorang ulama dan ahli hukum. Lantaran kegigihannya itu, Abu Hanifah terhindar dari jabatan hakim dan ia bersyukur tak mengemban jabatan itu. Sufi lainnya, yaitu Sofyan Tsauri malah melarikan diri demi menghindari tugas berat itu. Yang luar biasa adalah Misar. Besar sekali pengorbanannya karena ia rela berperilaku gila agar khalifah tak memilihnya. Yang terakhir adalah Suraih. Ia juga menolak jabatan itu dengan cara berpura-pura sakit keras. Namun khalifah justru memerintahkan aparatnya untuk mencari tabib terbaik. Mau tak mau, jabatan hakim itu akhirnya disematkan ke pundaknya.

Tampak betapa orang-orang berilmu itu menolak jabatan hakim, sebuah jabatan yang sangat diminati di Indonesia. Tak hanya jabatan hakim, tapi juga jabatan-jabatan lainnya yang berkaitan dengan hukum dan keadilan. Begitu pun yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat di berbagai departemen, dinas, dan lembaga sarat dengan main uang, sogok-menyogok, suap-menyuap, sebuah bagian dari ketidakadilan. Bahkan dalam penerimaan murid baru SMP, SMA pun terjadi ketidakadilan. Tender-tender projek, baik pada taraf konsultan maupun kontraktor dan supervisi juga demikian. Demi kenaikan pangkat lewat jalur sekolah pun harus terlebih dahulu menyerahkan uang agar urusannya mudah dan saling sikut dengan temannya.

Jadi, nyaris tak ada satu profesi pun di negeri nyiur melambai ini yang tidak melibatkan uang dan jauh dari keadilan. Padahal dalam al Qur’an surat an Nisaa: 58, ditegaskan seperti ini: Jika kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menghukum dengan adil. Artinya, kalau tidak adil, maka keadilan itu akan diterapkan di akhirat kelak dan hakimnya akan dimintai tanggung jawab oleh Sang Mahahakim: Allah swt. Hal serupa bisa disimak pada kata-kata Nabi Muhammad dalam hadisnya ini: Jika Fatimah anak perempuan Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya. Adakah yang berani demikian? Yang terjadi justru aparat hukum makin melindungi saudaranya yang jelas-jelas salah dan berupaya dengan segala daya, termasuk pamer kekuasaan dan uang untuk membebaskannya dari jeratan hukum.

Begitulah wajah hukum dan peradilan di Indonesia, sebuah wajah bopeng carut-marut. Orang yang telah jelas bersalah bisa melenggang di udara bebas, tapi yang tak bersalah atau masih samar-samar malah mendekam di penjara. Betullah kata sejarawan bernama Gibbon, penulis buku The Decline and The Fall of Rome. Katanya: kehancuran Romawi karena hukumnya tak dipatuhi. Mereka pintar membuat hukum dan peraturan demi sekadar dibuat dan disahkan tapi tak dipedulikan. Hukumnya dijadikan hiasan dan diperjualbelikan seperti barang dagangan. Perkara adalah tambang uang yang kapan pun bisa digali.


“Pada suatu ketika..., tata kala masa..., to be or not to be...., sandhya kala ning Nusa Antara.”