SURABI
Pisau di tangan kananku, surabi di tangan kiriku, kubelah dia menjadi dua. Masing-masing kupotong lagi menjadi dua sehingga total menjadi empat sektor. Anakku yang di SD, yang nomor 3, sudah tak sabar lagi ingin mengunyahnya. Tapi kularang sebelum dia menjawab pertanyaanku.
“Tadi ada satu surabi, sekarang menjadi empat potong, jadi sepotong ini sama dengan berapa bagian?
”Ehm... berapa ya..., empat!”
”He..he.. salah!”
”Coba lagi..., berapa?”
”Ah... bapak..., malas ah, masa’ pake itung-itungan terus...!”
”Coba diulang..., sepotong ini sama dengan berapa bagian? Ayo... pasti bisa. Ini kan pelajaran kelas empat!”
”Kalau setiap potongan dari empat potong ini dipotong lagi menjadi dua, maka satu potong yang kecil ini menjadi berapa bagian dari surabi besar tadi?”
”Ahh... bapaaak..., udah ah..., gak jadi makan!” sambil ngeloyor pergi.
---*---
Mengajak anak agar mau belajar memang susah. Atau..., susah-susah mudah. Mungkin lebih banyak susahnya ketimbang mudahnya. Belajar dengan cara bermain memang dianjurkan tetapi tidak semua subjek bahasan mudah dicarikan analogi atau pendekatannya. Bilangan pecahan seperti ”pecahan” surabi di atas misalnya, cukup sulit dikenalkan konsepsinya dengan pendekatan kehidupan nyata sehari-hari, jauh lebih sulit daripada sekadar hapalan angka yang diajarkan gurunya lewat garis bilangan. Ini terjadi lantaran metode pengajarannya lebih condong pada ”Cara Belajar Guru Aktif” dengan seminimal mungkin ”mengaktifkan” murid-muridnya. Padahal, banyak anak bisa menjadi pencinta pelajaran yang ”dianggap” sulit dengan melibatkannya pada pola belajar siswa aktif dengan media nyata (realistik) dalam kesehariannya (matematika realistik).
Tapi..., itu mungkin menjadi beban berat bagi guru, atau bagi sebagian guru! Semoga sertifikasi yang diberlakukan atas guru tidak sekadar menambah income, tetapi juga menambah kemampuan improvisasinya dalam mengajar. Ini sangat berbeda dengan pola belajar mengajar di perguruan tinggi yang memang diharuskan mandiri, mencari dan mengeksplorasi materi perkuliahan sebanyak mungkin dari berbagai sumber dengan belajar sendiri. Di perguruan tinggi, mahasiswa boleh jadi jauh lebih paham atas suatu topik perkuliahan, atau paling tidak, dia lebih dulu tahu dari internet misalnya, ketimbang dosennya. Ini sangat boleh jadi terjadi. Itu sebabnya, pengajaran di perguruan tinggi bersifat sinergis dan saling berbagi/ sharing dalam keilmuan. Dosen bukanlah insan yang paling tahu dan tidak selalu betul, sebaliknya mahasiswa sangat mungkin menjadi sumber ilmu (baru) bagi dosen. Mahasiswa dan dosen... saling membutuhkan, sama-sama beribadah dalam proses belajar-mengajar.*
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home