Buku dan Ketupat Lebaran
Lebaran atau Idulfitri betul-betul mampu mengerahkan orang-orang Islam untuk bergerak mudik, mengunjungi kampung kelahirannya, bertemu dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Semua modus angkutan, baik pribadi seperti motor dan mobil maupun umum seperti bis, kereta api, pesawat, dan kapal, disesaki penumpang. Tak hanya oleh orang tua, tetapi juga oleh anak-anak dan balita. "Ritual" tahunan itu selalu saja dinanti-nanti dan disambut gembira. Salah satu bentuk kegembiraan itu adalah pembuatan ketupat dan opor ayam.
Dari rumah ke rumah, terutama di kota-kota besar, dan tentu saja bagi kalangan mampu yang memiliki uang, ketupat dan opor, juga masakan lainnya pasti menghiasi meja makan. Bahkan pada malam takbiran pun sudah banyak yang menikmatinya. Esoknya, seusai shalat Idulfitri, setelah maaf-maafan dan sungkem-sungkeman, hidangan khas lebaran itu pun diserbu lagi. Kini dimakan bersama-sama, secara prasmanan dan duduk berputar atau di sekitar meja makan. Sambil ngobrol atau menonton televisi yang juga kaya dengan acara lebaran atau tayangan shalat Idulfitri dari Istiqlal, Jakarta, juga dari Makkah al Mukarromah, mereka terus menikmati santap ketupat.
Tamu-tamu pun lantas berdatangan dan setelah salam-salaman, ada peluk cium sedikit, lalu dipersilakan ke meja makan dan menikmati ketupat dan opornya. Sementara itu, tamu berikutnya datang lagi dan "ritualnya" persis sama dengan tamu sebelumnya, lalu dipersilakan bersantap ketupat dan opor ayam. Begitu berkali-kali dan terjadi setiap lebaran. Tidakkah ada rasa bosan di hati? Ternyata tidak. Justru hal demikian dinanti-nanti oleh semua anggota keluarga, mulai dari buyut, kakek-nenek, ayah-ibu, anak-anak, hingga cucu dan cicit. Semua berdatangan dan berkumpul di satu tempat yang biasanya rumah kakek atau buyutnya sebagai generasi tertua yang masih hidup. Luar biasa.
Suguhan spektakuler ini terjadi di semua lapisan masyarakat, baik di kalangan atas yang sarat uang sampai ke kalangan menengah dan bawah. Bedanya hanya satu, yaitu kualitas hidangannya. Variasinya tak jauh beda. Semuanya melibatkan ketupat, opor, dan sayur. Biasanya sayur waluh pedas dan dilengkapi jeruk. Ada juga apel dan anggur hijau. Segar, memang. Nikmat di lidah, tentu saja. Gembira? Sudah pasti. Tetapi, yang pasti juga, tidak semua senang dan gembira itu akan bermuara pada bahagia. Kebahagiaan, kata ulama, tak sama dengan gembira, berbeda dengan rasa senang.
"Ketupat" buku?
Ada sedikit khayalan. Demi meluaskan cakrawala ilmu masyarakat, khususnya kaum muslimin, bagaimana kalau ketupat dan opor itu diganti dengan buku, majalah atau koran? Adakah sambutannya semeriah menyambut ketupat - opor? Bisa diduga, tidak meriah dan malah dicap aneh. Jangan-jangan malah dianggap “gila”. Tapi begitulah, sesuatu yang baru, melawan arus tradisi, pasti akan ditentang dan dinista. Tak mudah membudayakan sesuatu yang dianggap melawan kemapanan tradisi. Apalagi kalau sesuatu yang baru itu sangat melawan arus kenimkatan nafsu, baik syahwat maupun perut.
Mengapa sambutan serupa belum terjadi pada “hidangan” bernama buku? Bukankah buku adalah makanan ruhani kita? Malah dalam banyak pendapat ulama, buku adalah obat penyakit hati. Bahkan imam Al Ghazali pun menulis Kimia Kebahagiaan (Kimia’i Sa’adah) dalam ujud buku. Siapa saja pembaca akan memperoleh "ramuan kimia" yang membahagiakan. Buku menjadi obat. Sebab, dengan bukulah (baca: ilmu) manusia dapat mengelola hatinya sehingga tidak kotor apalagi rusak dan buruk. Makanan ruhani atau lebaran bagi ruhani rupanya belum mampu mendesak apalagi menggeser lebaran ketupat.
Akankah masyarakat tidak selalu tunduk pada godaan nafsu perutnya? Makan dan minum bukan tidak boleh, tetapi harus. Harus makan dan minum untuk menjaga kesehatan, agar organ tubuh kita berfungsi dengan baik dan kuat beribadah. Ibadah di sini tidak hanya ritual, tetapi juga ibadah sosial seperti bekerja, membersihkan halaman, mencuci, menyapa teman, atau mengajari orang agar makin mengerti hakikat hidup. Banyak lagi jenis ibadah sosial ini. Justru jenis ibadah sosial inilah yang lebih banyak dan tak terbatas jumlahnya dibandingkan dengan ibadah ritual. Apalagi prinsip ibadah ritual hukumnya haram kalau tiada tuntunan dari Allah dan rasul-Nya.
Hal yang sama terjadi pada parsel Lebaran. Kebanyakan parsel berisi makanan dan minuman. Ada juga modifikasi lain, seperti memparselkan barang-barang keramik pecah belah. Bahkan konon ada yang berisi kunci mobil dan/atau rumah dan sertifikatnya. Tetapi yang seperti ini sempat menyulut pelarangan parsel karena diduga ada udang di balik batu, berkaitan dengan sesuatu yang sifatnya MKKN (manipulasi, korupsi, kolusi, nepotisme). Ada pamrih di balik pemarselannya.
Kembali ke soal "ketupat" buku. Saya membayangkan, bagaimana kalau setiap tamu yang berkunjung ke rumah kita disuguhi buku. Bisa dimulai dari buku-buku kecil yang berkaitan dengan agama. Buku-buku tipis dan kecil seharga Rp 5.000 per eksemplar bisa disuguhkan kepada tamu. Atau, dan ini yang lebih baik, menulis sendiri buku-buku kecil itu lalu difotokopi dan disebarkan kepada sahabat yang bertamu ke rumah. Isinya boleh apa saja. Boleh tuntunan cara mendidik anak, cara membersihkan motor, mobil, atau informasi tentang objek wisata. Atau berisi proposal bisnis dagang yang bakal dijalankan pasca-Lebaran sekaligus promosinya.
Lebih bagus lagi adalah buku hasil karya sendiri yang dicetak dan dijual bebas di toko-toko. Bukankah ini bisa dijadikan alat kampanye cinta baca dan cinta buku? Mungkin saja ada yang merasa aneh sehingga tidak mau menerima buku kita. Boleh jadi juga ada yang tak mau bertamu lagi. Juga bisa saja ada yang mencap kita sebagai orang "gila":. Tak apa-apa. Ini biasa pada setiap gerakan pembaruan budaya. Apalagi gerakan yang berkaitan dengan buku memang sulit dan besar penolakan masyarakat terhadapnya. Tapi tak usah menyerah.
Saya berkhayal lagi. Kapankah orang menikmati buku seperti menikmati ketupat dan opor ayam? Kapankah mereka bernafsu besar pada buku seperti halnya bernafsu besar pada ketupat dan opor ayam? Tak usah semua orang, 60% saja warga negara Indonesia memiliki nafsu besar pada buku dan memosisikan buku seperti ketupat-opor pada setiap Lebaran maka masyarakat kita sudah demikian maju, cerdas, kreatif sehingga temuan-temuan baru di berbagai disiplin ilmu terus bertumbuhan. Semoga. *
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home