Gede on Writing

Jumat, Juni 30, 2006

Fotokopi Buku


Seorang rekan bercerita. Ketika memfotokopi sesuatu, dia kaget melihat seseorang memfotokopi bukunya. Bukan apa-apa. Dia kaget bukan karena tak rela bukunya difotokopi, melainkan karena isi bukunya itu sudah diubahnya. Ada sejumlah pendapat baru yang dianutnya kini yang berarti sejumlah pendapatnya di buku lamanya itu sudah dibuangnya. Buku lamanya itu terbit pada awal 1990-an. Ia khawatir pembaca buku lamanya itu akan salah paham atas pandangannya yang lalu padahal dia sudah memiliki pandangan baru yang menurutnya lebih tepat dan benar.

Jadi, kawan ini terkejut melihat bukunya difotokopi bukan lantaran alasan ekonomi melainkan alasan potensi kesesatan yang bakal diperoleh pembacanya. Dia, secara pribadi, rela-rela saja bukunya difotokopi atau dibajak. Tentu tak demikian dengan penerbitnya karena berbasiskan bisnis. Sebagai penulis, dia tak peduli pada bajak-membajak, kopi-mengkopi. Tolok pikirnya adalah sebaran ilmu. Makin banyak bukunya dibajak berarti makin banyak pula orang yang mengetahui ilmu yang ditulis di dalam buku tersebut. Apalagi dia sangat-sangat yakin bahwa Allah swt pasti akan membayarnya dengan harga yang tak bisa diduganya dan pasti jauh lebih baik daripada sekadar royalti. Yakin dia bahwa Allah takkan mengecewakannya.

Bagaimana dengan mahasiswa? Sudah jamak diketahui, dari dulu sampai sekarang, buku fotokopian banyak beredar di kalangan mahasiswa, terutama buku ajar (textbook) terbitan luar negeri. Minimal ada dua alasannya: (1) harganya mahal; (2) bukunya sulit diperoleh di dalam negeri dan harus pesan yang memakan waktu lama sedangkan materinya harus segera dipelajari demi skripsi, tesis, atau disertasi. Cara memperolehnya pun ada dua macam, yaitu (1) memfotokopi sendiri di tukang fotokopi; (2) membelinya di toko yang memang jelas-jelas menjual textbook fotokopian. Yang kedua ini sudah sering pula diusut yang berwajib tetapi sekian minggu kemudian berjualan lagi. Sogok uanglah yang berperan di dalamnya.

Di ITB pun marak sekali buku dan diktat fotokopian. Yang paling sering terlihat adalah fotokopian buku Fisika Dasar padahal harganya tak jauh beda dengan buku aslinya. Ini tentu saja merugikan Penerbit ITB dan juga penulisnya. Tapi anehnya, penulisnya yang juga dosen Fisika Dasar tak terlalu ambil pusing melihat bukunya difotokopi ketika sedang mengajar. Sama sekali tak ada pengaruhnya pada nilai atau permainan nilai. Mungkin, itulah karakter ilmuwan yang ingin menyebarkan ilmu sebanyak-banyaknya ke banyak orang, duga saya. Yang pasti juga, tak sedikit dosen di ITB yang memfotokopi buku-buku hadiah (grant) dari sejumlah lembaga asing agar bisa dibacanya di rumah masing-masing dan tidak harus antri meminjamnya.

Jadi, bagaimana? Di mana posisi HaKI di Indonesia?

Gede H. Cahyana