Gede on Writing

Kamis, Agustus 03, 2006

Palestina dan Hak Veto

Sejauh ini, Palestina selalu dirugikan oleh pemegang Hak Veto di Dewan Keamanan PBB, terutama oleh Amerika Serikat. Negara yang disetir Yahudi ini bagai ular berkepala dua dan selalu munafik. Demokrasi yang dielu-elukannya adalah demorasi yang crazy sehingga gila pula para pejabatnya. Lagi pula, AS begitu gentar melihat keberanian kaum muslim dalam bom-bom syahidnya sehingga mereka berupaya membunuhi anak-anak dan wanita pelahir anak-anak. Peristiwa Dusun Qana di Libanon Selatan adalah contoh nyata perikeiblisan Israel dan AS. Bom pembasmi yang berasal dari AS itu digunakan oleh Israel secara membabi buta sehingga tewaslah tak kurang dari 60 orang yang mayoritas wanita dan anak-anak.

Hal serupa pernah terjadi pada peristiwa Shabra-Satila. Ribuan wanita dan anak-anak tewas terpanggang panasnya bom. Memang, sejumlah negara mengutuk pemboman itu, tapi sekadar mengutuk saja. Atau, boleh jadi mereka pura-pura mengutuk untuk menabiri senyum gembiranya melihat kehancuran kaum muslim. Lembaga dunia yang bertujuan mengamankan dunia dari mala petaka buatan manusia semacam perang, sesuai semangat Liga Bangsa-Bangsa pada awalnya dulu, hanyalah macan ompong. Justru mereka gentar dan takut berat terhadap gerak-kembang Islam sehingga diam saja. Jangankan PBB yang notabene adalah AS dan Israel yang memang islamofobi, negara-negara anggota OKI saja bergeming (tidak bergerak), diam seribu basa. Sekadar dukungan moral saja tidak ada. Berbeda dengan rakyatnya di tataran akar rumput, mereka merasa satu tubuh dan marah lantas bertekad turut berjihad di sana. Tapi sayang, jumlahnya tidak banyak. Kebanyakan dari Suriah dan Iran. Bahkan pernah terjadi, muslimin Indonesia yang hendak berjihad di sana justru ditakut-takuti dan dihalangi oleh pemerintah Indonesia. Sekarang pun demikian dengan alasan di dalam negeri masih banyak butuh bantuan karena bencana alam seperti di Pangandaran dan Yogya.

Kini, setelah nyaris 700 orang tewas di Libanon saja, belum termasuk di Gaza, negara-negara yang pejabatnya pembenci Islam, penganut islamofobi "seolah-olah" mengutuk perbuatan perikehewanan Israel di sana. Ada drama satu babak yang mereka lakonkan sekarang. Drama-drama ini bisa mereka mainkan berkali-kali sesuai situasi dan kondisi yang mereka alami. Kepura-puraan itu sangat kentara lewat silat lidahnya di media massa. Taktik mereka adalah menyerang terus ketika masih di atas angin dan langsung minta gencatan senjata ketika sudah tersudut dan terpepet. Inilah taktik usang mereka, sama persis dengan moyang mereka, yaitu kaum Yahudi pada masa Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, kaum Yahudi itu bangsa penakut. Tentara Israel itu sangat penakut, sama seperti AS yang beraninya hanya main keroyokan di Afghanistan dan Irak.

Yahudi adalah pendatang di Palestina. Karena serakah, Yahudi yang menggelandang itu lalu merebut jengkal demi jengkal tanah Palestina dan mengklaimnya sebagai bangsa yang berhak atas tanah itu. Atas kekuatan ekonomi yang mereka susun, mereka lantas mampu menyetir AS dkk. Bahkan boikot dan veto AS di DK PBB pun sebetulnya atas usul lobby Yahudi. Namun demikian, peristiwa seperti ini sebetulnya bukanlah hal baru. Sebab, veto dan boikot ekonomi yang dialami Palestina pun pernah dialami oleh nabi terakhir kita. Malah gempuran kaum kafirin Quraisy begitu membabi buta termasuk ketika mengintimidasi para sahabat Muhammad bin Abdullah. Kelaparan, siksa pedih dan intrik begitu dekat dengan kaum muslim pada masa nabi. Hal senada terjadi pada masa sekarang di berbagai pelosok bumi: di Irak, di Afghanistan, di Filipina, di Thailand dan di Afrika, selain di Palestina dan Libanon.

Yang juga aneh atau “aneh”, kenapa institusi negara tidak mendukung Hamas dan Hizbullah secara terang-terangan? Takutkah mereka? Atau, mereka sudah menjadi antek-antek Zionis atau antek Amerika Serikat dkk? Oleh sebab itulah, perang tersebut menjadi perang Israel melawan partai politik bukan perang melawan negara Palestina atau negara Libanon. Sebab, institusi negara bergeming sama sekali. Diam sejuta bisu. ***


Gede H. Cahyana.