Gede on Writing

Jumat, Juni 23, 2006

Aceh, Kiamat Mikro?

Tulisan ini pernah dimuat di buletin Jumat Masjid Al Ittihad Universitas Kebangsaan Bandung, pada Januari 2005. Sebagai refleksi atas gempa Yogya dan erupsi Merapi dan untuk menuai spiritnya, tulisan ini dirilis kembali.


Sampai hari ini sudah 170 ribuan orang tewas di sebelas negara yang kena tsunami. Sekitar 98 ribu di antaranya di Aceh. Jumlah ini adalah korban terbesar kedua setelah gempa di Cina tahun 1976 dengan korban 250 ribu orang. Karena datanya sementara, jangan-jangan nanti berubah menjadi yang pertama terbesar jumlah korbannya.

Gempa berkekuatan 8,9 skala richter itu mampu mengubah kota yang pernah jaya dengan kerajaan Samudra Pasai menjadi puing-puing. Ketika matahari baru sepenggalahan naik, Serambi Mekkah dilibas gelombang yang tingginya duakali pohon kelapa, lebih tinggi daripada atap rumah berlantai dua. Jangankan manusia, yang namanya kayu, batu, truk, bahkan beton rumah dan jembatan pun tersapu ludes oleh tsunami, tsu (pelabuhan) dan nami (gelombang).

Hanya dalam tempo 15 menit pascagempa, punahlah daerah juang Teuku Umar dan Cut Nyak Dien itu. Dampaknya pun terasa hingga pantai timur Afrika seperti Somalia, Tanzania dan Kenya. Kiamatkah ini? Betul, ini memang kiamat. Namun, ini cuma kiamat kecil. Mikro. Kematian, apa pun caranya, hanyalah kiamat kecil. Separah apa pun kehancuran dunia akibat energi alam semisal gempa itu, tetaplah kiamat kecil.

Bahkan, andaikata seluruh dunia kena bencana serupa, itu pun kiamat kecil. Sebab, kiamat besar baru terjadi jika dan hanya jika seluruh semesta ini tamat riwayatnya, dan manusia siap-siap menuai karyanya selama di dunia. Tapi ada keajaiban. Pulau Simeulue, sebuah pulau yang paling dekat dengan episentrum gempa itu nyaris tiada kerusakan berarti jika dibandingkan dengan Aceh. Bagaimana pakar gempa menjelaskan fenomena ini?

Yang juga luar biasa, tak ada ikan hiu, paus, pari, gurita, dan lain-lain yang terdampar di daratan Aceh. Bahkan di Madras, India yang banyak gajah tak satu pun yang mati lantaran diterjang tsunami. Apakah binatang ini lebih tahu bakal ada gempa dan tsunami? Kalau ya, maka kita perlu banyak belajar dari binatang.

Mencegah kiamat?
Mampukah manusia mencegah kiamat! Mencegah kiamat, melawan kematian, ingin hidup seribu tahun lagi adalah obsesi manusia. Film Armageddon (kiamat) yang dirilis sineas Hollywood adalah saksi sekaligus obsesi manusia melawan kiamat. Syahdan, dalam film itu, sebuah asteroid seluas Texas, negara bagian di Amerika Serikat, akan menabrak Bumi. Pertanyaan kita, benarkah asteroid mampu melumat bumi? Benarkah kiamat terjadi karena benda langit saling tabrak?

Asteroid ialah benda langit berukuran kecil, berdiameter ratusan kilometer, terletak di orbit atau garis edar (Adz-Dzaariyaat: 7) antara Planet Mars dan Jupiter. Selain asteroid, ada benda langit yang disebut meteor atau bintang jatuh, pijar karena bergesekan dengan atmosfer bumi. Umumnya meteor habis terbakar di atmosfer walaupun ada yang sampai ke bumi seperti di Arizona, AS.

Hukum Newton membeberkan bahwa benda-benda angkasa itu tarik-menarik dan gayanya makin besar jika benda tersebut makin besar, padat, dan dekat jaraknya. Hukum inilah yang menjelaskan kemungkinan terjadinya tabrakan antarbenda langit sehingga hancur berkeping-keping. Teori Relativitas Umum Einstein pun menjelaskan bahwa kiamat pasti terjadi. Inilah tilikan keakuratan sains yang notabene diformulasikan oleh orang-orang nonmuslim. Mampukah kita, sekali lagi, mencegahnya (kiamat)?

Dengan kemajuan teknologi, manusia mungkin mampu mencegah tabrakan satu atau dua benda langit yang jatuh (baca: tertarik) ke bumi. Tapi, akankah demikian jika matahari digulung, langit terbelah dan bintang-bintang berjatuhan dan berserakan (At Takwiir: 1-2 ; Al Infithaar: 1-2)? Berjatuhan mengandung makna banyak yang jatuh bak butir-butir air hujan. Berserakan laksana sampah yang tersebar di mana-mana, tumpang-tindih.

Selain asteroid, masih ada milyaran galaksi di semesta ini. Galaksi pun terdiri atas bermilyar bintang. Itu semua diciptakan Allah (Al-An’am: 101) dan kini bisa dijelaskan dengan teori Big Bang (terjadi 15 miliar tahun lalu). Matahari yang dikitari sembilan planet termasuk bumi kita hanyalah salah satu dari bintang tersebut. Jika orbit benda langit bergeser dan lepas kendali, maka tabrakan tak tercegah.

Manakala benda langit bagaikan debu terhempas angin yang sekejap saja menjadi serpihan (Al Waaqi’ah: 6) dan matahari (bintang), bulan (planet) dikumpulkan (tabrakan) atau bulan (planet) lumer dan menguap sebelum mencapai matahari (Al Qiyaamah: 9) mampukah kita dan tentara digdaya bersenjata nuklir membatalkannya?

Mencegah gempa dan membendung tsunami dahsyat di Aceh saja kita tak mampu. Begitu pun banyak kejadian serupa di belahan lain dunia. Maka, pada Kamis, 6 Januari 2005 lalu diadakan Tsunami Summit di Jakarta Convention Center, dan ikut hadir Sekjen PBB. Selain untuk menggalang bantuan bagi korban tsunami Aceh, para pejabat negara dan pakar gempa seluruh dunia berkumpul untuk membincangkan deteksi dini gempa & tsunami.

Itulah faktanya. Jangankan menghentikan, memprakirakan secara eksak sampai hitungan tahun saja pakar gempa tak mampu. Apalagi dalam hitungan hari dan jam Di mana akan terjadi, berapa kekuatannya, berapa lamanya, dan berapa kali akan terjadi, masih misteri bagi manusia. Apatah lagi mencegah benturan antarbenda langit seperti film di atas. Al-Zalzalah: 1-2, apabila bumi diguncang dengan dahsyat, dan bumi mengeluarkan beban berat yang dikandungnya... Di ayat 3, manusia pun hanya bisa bertanya-tanya, mengapa bumi jadi begini...?

Sarat Hikmah
Namun demikian, tetap ada hikmah di balik kiamat mikro di Aceh. Pertama, sehebat apa pun manusia, ternyata hanyalah makhluk lemah. Usahlah sombong ketika punya fisik kuat (petinju, pegulat), ekonomi kuat (konglomerat), ilmu kuat (profesor, doktor), jabatan kuat (presiden, gubernur, bupati/walikota, rektor, dekan, kajur, dstnya). Sebab, hakikatnya, semuanya lemah. Jauh lebih lemah ketimbang sarang laba-laba (Al-Ankabuut: 41).

Kedua, Aceh memberi kaum muslim kesempatan berinfak praajal tiba. Ini betul-betul terbukti; di mana-mana muncul posko bencana Aceh. Mulai mahasiswa hingga warga di RT/RW membuka dompet peduli Aceh. Mudah-mudahan ini adalah bukti keimanan yang menganggap mukmin lainnya adalah saudara. Semoga Allah membalas infak itu dengan hal yang lebih baik dan lebih besar nilainya.

Ketiga, kita belajar sabar dan sabar lagi. Menahan gejolak nafsu keangkuhan atas kekuatan kita. Bahwa kita ini kecil dihadapan Allah. Bahwa kita butuh Allah dan Allah sama sekali tak butuh kita. Dan yang pasti, dalam setiap bencana dalam pandangan manusia, Allah tidak mungkin berlaku zalim pada hamba-Nya.

Akhirnya, dalam kasus Aceh ini, janganlah kita husnudzon (baik sangka kepada Allah; sebab, Allah pasti baik!) apalagi su’udzon (buruk sangka kepada Allah; ini jangan sampai terjadi). Yang benar, kita harus IMAN kepada Allah dan menerima ketentuan-Nya tanpa keluhan. Que sera-sera, what ever will be, will be. Lalu, tetap melaksanakan ibadah mahdhah dan aktivitas politik, ekonomi, pendidikan dll.

Dan hanya Allahlah yang Mahatahu.

Gede H. Cahyana

2 Comments:

At Kamis, 20 Desember 2007 pukul 18.38.00 WIB, Blogger RC said...

"janganlah kita husnudzon (baik sangka kepada Allah; sebab, Allah pasti baik!) apalagi su’udzon (buruk sangka kepada Allah; ini jangan sampai terjadi)."
Kalau gitu kita bilang aja "Whatever you do, GOD." Gak usah peduliin segala perbuatanNya. segalahobi.blogspot.com

 
At Senin, 21 April 2008 pukul 15.38.00 WIB, Anonymous Anonim said...

Walaupun selalu ada hikmahnya tetapi kita mesti ikut prihatin, mengapa bangsa ini tak henti-hentinya mendapat bencana, mungkin benar kali tentang adanya ramalan sabdo palon yg saya baca di link :
http://nurahmad.wordpress.com/wasiat-nusantara/ramalan-sabdo-palon/

tapi mudah2-an kedepannya bangsa ini bisa aman terkendali, tidak ada bencana lagi dan rakyatnya bisa hidup sejahtera. Amien.

 

Posting Komentar

<< Home