Gede on Writing

Senin, Juni 26, 2006

K.H. Rusyad Nurdin

Sosoknya tinggi besar, kira-kira sama dengan Pak SBY, presiden kita sekarang. Peci hitam dan setelan baju-celana hitam atau gelap selalu dikenakannya. Tasnya pun hitam, mungkin berbahan kulit tapi tak pasti berapa harganya. Berkulit gelap umumnya orang Indonesia, alisnya memutih, begitu pun kumisnya. Jenggotnya lebih sering dicukurnya. Kakinya rematik sehingga jalannya tertatih-tatih. Setiap memberikan kuliah agama dan etika, beliau selalu menuruni undak-undak di belakang, dekat gedung Oktagon ITB. Dari jauh pun bisa dilihat sosoknya yang khas itu.

Siapa yang tak kenal K.H. Rusyad Nurdin? Saya yakin banyak juga yang tak tahu sosok kyai pejuang dan pejuang kyai ini, khususnya di kalangan nonmuslim. Namun, saya yakin tak seorang mahasiswa muslim ITB pun yang tak tahu siapa beliau, terutama yang mulai kuliah di ITB sebelum tahun 2002.

Beliau adalah pejuang dalam segala segi, mulai dari pendidikan, ekonomi, politik, dan agama. Sebagai politisi, beliau ikut dalam Konstituante yang dibubarkan oleh Bung Karno. Dalam bidang dakwah, beliau aktif membina umat lewat berbagai cara seperti mendirikan pesantren, menjadi penasihat, dan mengajar. Ada satu hal yang selalu beliau dengung-dengungkan dalam dakwahnya dan ini menjadi keprihatinannya yang mendalam. Beliau prihatin atas perilaku dan perbuatan tercela yang meruyak sejak masa beliau muda, tua, bahkan sampai hari-hari akhir hidup beliau.

Ada catatan buruk perilaku manusia yang dikompilasi oleh almarhum, yaitu:

(1). Mengagungkan harta di atas segalanya yang berarti menghambakan diri kepada harta. Harta adalah sarana bagi manusia untuk mempertahankan derajat atau meningkatkan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang mulia dan bukan sebagai tujuan. Kalau kita sudah menjadi hamba atau budak harta maka kita akan sanggup melakukan apa saja, halal atau haram sekalipun.

(2). Kita cenderung melakukan manipulasi; yakni berbuat curang, tidak jujur, menyalahgunakan kekuasaan dan mengkhianati amanah sehingga terdapat korupsi di mana-mana. Untunglah pemerintah sudah mengambil tindakan terhadap hal ini walaupun belum berhasil secara tuntas. Harapan kita semoga cepat tercipta pemerintah yang bersih dan berwibawa. Inilah harapan yang tulus sebagai warga negara. Orang yang memperkaya diri dengan menyalahgunakan kekuasan adalah orang yang berhati kosong dan tak punya rasa cinta kepada rakyat kecil yang notabene adalah sebagian besar penduduk Indonesia.

(3). Kita cenderung pada sikap fragmentasi; yaitu menghargai orang dengan kekayaan dan jabatan yang disandangnya, tidak sebagai pribadi yang utuh. Sikap ini menimbulkan tindakan sewenang-wenang terhadap rakyat kecil dan tidak mencerminkan sila kedua Pancasila.

(4). Bersifat individualis; yakni meletakkan kepentingan diri sendiri di atas segalanya. Biar orang lain rugi asal diri sendiri beruntung. Biar negara morat-marit asal diri sendiri kaya dan mendapat harta yang bertumpuk, kalau perlu sampai tujuh turunan tidak habis. Perbuatan ini bertentangan dengan sila pertama dan sila kelima Pancasila.

Demikianlah.*

Gede H. Cahyana